Ia begitu percaya diri ketika menulis dengan bahasa arogan sambil menebarkan ketidaksukaan terhadap banyak pihak. Tulisan-tulisannya bersifat serta penuh benci permusuhan. Sekian lama, ia lakukan hal tersebut dengan bebas, merdeka, dan seenaknya, tak ada yang menghalangi. Warganet yang sudah muak dengan 'hate jurnalism, rasis, arogan' tersebut, melaporkan Orang Itu ke Mabes Polri, karena menilai apa yang ia lakukan di media sosial sangat berbahaya dan jika dibiarkan dapat memecah belah bangsa Indonesia. Akhirnya ia menjadi Sang Terduga, setelah itu jadi Sang Tersangka, dan kemudian sebagai Sang Terdakwa.
Orang Itu dijerat Pasal 28 ayat (2) Jo Pasal 45 A ayat (2) dan atau pasal 35 Jo pasal 51 UU RI Nomor 19 tahun 2016 tentang perubahan atas UU RI Nomor 11 tahun 2008 tentang ITE dan atau pasal 4 huruf (b) angka (1) jo pasal 16 UU RI Nomor 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis dan atau pasal 156 KUHP tentang Penghinaan Terhadap Suatu Golongan. Pengadilan memutuskan, Orang Itu, dipenjarakan selama dua tahun dan denda Rp 50 juta.
Hari ini, Senin 19 Februari 2018, ketika mendengar keputusan Jaksa, ia berseru dengan lantang, "Saya hanya percaya penilaian Allah terhadap saya, dan jaksa itu bukan Tuhan. Jadi, saya tidak peduli, Allahu akbar... Allahu akbar... Allahu akbar. (Kompas.com)" Luar biasa. Ia adalah WNI di NKRI dan dalam Peradilan RI, namun tidak peduli dengan keputusan Peradilan di Negeri ini. Hal itu terjadi, karena Orang Itu, menilai bahwa apa yang dituntut Jaksa sangat bertentangan dengan fakta-fakta; posting-posting di media sosial tidak menimbulkan permusuhan dan kebencian. Baginya, semua posting, foto, narasi yang ia lakukan, selama ini, di Medsos, terutama pada Facebook, adalah sesuatu yang benar, tak melanggar hukum, dan tak berekses negatif. Bahkan, semua ujar kebencian, meme yang menyinggung etnis, serta agama, golongan lain, adalah sesuatu yang biasa-biasa saja, dan tak salah atau bukan pelanggaran hukum.
Semuanya itu menjadikan Jaksa menilai bahwa, Sang Terdakwa tidak merasa bersalah dan tak menyesali perbuatannya.
Siapa dia? Siapa Si Orang Itu? Siapa Sang Terdakwa tersebut? Ya, ia adalah dia, yang anda sebut dalam hati. 'Penolakan' dan tak peduli terhadap keputusan Jaksa, dan menilai Jaksa bukan Tuhan, dalam artian, bagi dia hanya Tuhan lah yang berhak menyatakan dirinya (Sang Terdakwa) salah atau benar, nyaris sama dengan proses peradilan para teroris  (yang ditangkap Densus 88 Polri). Mereka, para teroris pun, pada intinya, menyatakan Negara atau pun Peradilan RI tak berhak mengadili mereka.
Saya tak menyamakan Orang Itu dengan teroris, namun, ketika ia diadili, dan tak merasa bersalah serta tidak menyesali perbuatannya, tentu ada alasan yang kuat dan sangat mendasar, atau bahkan sesuai dengan 'panggilan idiologis serta militansi pada idiologi atau pun ajaran moral yang ia miliki dan anut.' Â Dengan sikon itu, maka segala sesuatu yang berbeda serta tak sesuai dengan idiologi atau pun pandangan moral (dalam diri) nya, tidak perlu diakui atau harus di lawan. Bahkan, jika siapa pun yang menghalangi dan menghadang 'panggilan idiologis serta militansi pada idiologi atau pun ajaran moral yang dimiliki dan dianut,' maka itu sama dengan sasaran perlawanan.
Pada banyak kasus di berbagai Negara, orang-orang yang 'militan pada satu idiologi, ajaran, pandangan radikal,' walau sudah ditangkap dan diadili, selalu menunjukkan bahwa orasi, narasi, giat, dan tindakan mereka selalu benar, tidak pernah salah, dan tak pernah menyesal semua perbuatannya, walau telah memakan korban benda dan manusia.
Nah. Jika seperti itu, apakah Pengadilan harus melepaskan dan membebaskan mereka? Tentu tidak. Pengadilan di mana pun, termasuk di Indonesia, mengadili penjahat (pelanggar hukum) di Dunia, dan  berdasarkan hukum sipil atau pun perundang-undang yang berlaku. Jadi, selama masih ada di dunia (dan menjadi Warga Negara), maka tunduk, patuh, taat pada Undang-undang Negara.
Dengan demikian, jika Orang itu menyatakan  bahwa, "Saya hanya percaya penilaian Allah terhadap saya, dan jaksa itu bukan Tuhan," maka tetap saja, sesuai Undang-undang di NKRI, maka ia bersalah, dan harus dipenjarakan.
Opa Jappy
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI