Kami prihatin atas penjatuhan dua kali sanksi etik yang diberikan oleh Dewan Etik MK terhadap Profesor Arief Hidayat. Kami sadari menjaga amanah dan melaksanakan tanggungjawab sebagai pejabat publik termasuk Hakim MK bukanlah sesuatu yang mudah dan sudah tentu seringkali mendapatkan tantangan maupun hambatan.
Namun sebagai kolega, kami ingin mengingatkan bahwa jika seseorang yang dipercaya publik di puncak lembaga penegak hukum -- dalam hal ini MK -- ternyata gagal memegang teguh moral kejujuran, kebenaran, dan keadilan, maka ia telah kehilangan sumber legitimasi moralnya sebagai agen penegak hukum.
Menurut kami, MK harus diisi oleh para hakim yang memahami hakikat kejujuran, kebenaran, dan keadilan tersebut. Tanpa pemahaman hakiki tersebut, hakim tidak bisa menjadi garda penjaga kebenaran. Vested interests dan ambisi pribadi terhadap kekuasaan hanya akan meruntuhkan lembaga konstitusi.
Kami juga ingin menyampaikan pandangan bahwa seorang hakim MK yang terbukti melanggar etik, maka dia tidak punya kualitas sebagai negarawan. Negarawan sejati adalah orang yang tidak akan mempertahankan posisinya sebagai hakim konstitusi setelah dijatuhkan sanksi pelanggaran etika.
Negarawan yang sesungguhnya bukan hanya tidak akan melanggar hukum, tetapi dia akan sangat menjaga etika pribadi atau pergaulan dan terutama etika bernegara. Negarawan tanpa etika moral batal demi hukum kenegarawanannya. Dan karenanya, tidak memenuhi syarat menjadi hakim konstitusi.
Berdasarkan uraian di atas, dengan segala hormat dan demi menjaga martabat serta kredibilitas MK, maka kami meminta Profesor Arief Hidayat untuk mundur sebagai ketua dan hakim MK."
Konsekuensi sederhana dari keputusan MK tersebut, menurut pandangan publik, beberapa hari ke depan, akan ada suatu proses politik di DPR RI, sesuai mekanisme yang berlaku; DPR RI akan melakukan pemangkasan wewenang, tugas, fungsi KPK ketika memberantas Korupsi serta menangkap Koruptor.
Apa memang seperti itu? Bisa saja terjadi. Karena agenda tersembunyi di balik Hak Angket KPK adalah 'Pelemahan KPK.' Namun, Agun Gunandjar Sudarsa, Ketua Pansus Hak Angket KPK, menolak hal tersebut. Juli 2017 yang lalu, kepada media  Agun Gunandjar Sudarsa menyampaikan bahwa,
"Inti dari Pansus Hak Angket KPK adalah permasalahan bahwa KPK yang sejak berdiri tahun 2002 tidak mendapatkan pengawasan yang cukup, belum pernah di evaluasi dan di audit kinerjanya.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!