Mohon tunggu...
Opa Jappy
Opa Jappy Mohon Tunggu... Konsultan - Orang Rote yang Bertutur Melalui Tulisan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

http://jappy.8m.net

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Upah Minimum Propinsi dan Unjuk Rasa Tanpa Akhir

3 November 2017   10:30 Diperbarui: 3 November 2017   11:01 412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: WA Relawan Cinta Indonesia

Sekitaran Universitas Indonesia, Depok--Tahun-tahun terakhir ini, sudah menjadi tren pada para pekerja atau buruh. Ada aneka alasan yang menjadikan mereka, para buruh tersebut, berunjuk rasa.

Secara khusus, para buruh, berunjuk rasa di DKI Jakarta, dengan tuntutan adanya kenaikan Upah Minimum Provinsi atau UMRegional di DKI; dan biasanya menolak penepatan dari Pemda berdasarkan rekomendasi Dewan Pengupahan. Buruh menolak, dan menuntut lebih dari yang telah ditetapkan; karena menurut mereka perusahan - pengusaha mempunyai dana lebih dari hasil kerja mereka, dan Pemda DKI tidak berpihak ke/pada buruh.

Agaknya tuntutan kenaikan tersebut, telah menjadi pro-kontra.  Sementra para pengusaha di DKI (dan mungkin saja di kota-kota sekitar Jakarta) sudah menjerit. Mereka menjerit, bukan saja upah buruh harus dinaikan, namun juga biaya produksi yang naik akibat kenaikan harga barang baku dan ongkos-ongkos siluman dari sana-sini, (Note: Agar ada kesediaan dana untuk biaya-biaya siluman, maka salah cara melalui gaji pekerja yang murah).

Selain itu, seiring dengan perkembangan giat ekonomi, kebutuhan serta kenaikkan biaya hidup minimal dan layak, tentu saja berimbas pada para buruh dan keluarganya. Ini berarti, untuk efisiensi, efektivitas, dan kelangsungan kerja (pabrik, produksi), maka pengusaha harus menaikkan gaji para pekerja. Bukan mengPHKkan para pekerja (buruh)nya, daripada harus menambah biaya atau gaji.

Sayangnya, yang terjadi adalah, dengan berbagai alasan, maka, pada umumnya, kenaikkan UMP tersebut tak seimbang dengan biaya hidup minimal.

Lalu, yang kemudian terjadi adalah buruh sering tinggalkan pekerjaan untuk demo atau unjuk rasa.

Jika seperti itu, siapa yang rugi!?

Namun, harus diakui bahwa seringnya sejumlah atau rangkaian unjuk rasa/demo yang dilakukan oleh elemen-elemen buruh, tentu saja, membuat banyak orang (termasuk diriku) bertanya-tanya, "Memangnya para buruh tersebut tak bekerja, sehingga melakukan demo yang tak berkeputusan!?"

Atau memang, para pemilik/pemimpin perusahan-pabrik, sudah sangat bermurah hati, sehingga membiarkan pekerja tinggalkan pekerjaan untuk melakukan demo!? Plus, unjuk rasa buruh, juga menyumbangkan kemacetan di berbagai are publik atau pun pusat kegiatan demo.

Berdasarkan semuanya itu, untuk mengurangi atau pun meminimalisir unjuk rasa atau pun aksi buruh (terkait upah), maka selayaknya Pemda di Indonesia (tak hanya di Jakarta) lebih peka, jeli, akomodatif terhadap aspirasi buruh.

Dengan itu, Pemda dan pengusaha mampu merubah sikon, "Para buruh harus menerima gaji murah karena membutuhkan nasi dan pakaian untuk bertahan hidup. Akibatnya, menjadikan mereka tidak mampu meningkatkan kualitas hidup dan kehidupannya."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun