Catatan I.
Setelah Perang Dunia I, Negara di Eropa dan USA menyadari penuh bahwa perang modern, tidak lagi mengandalkan pasukan berkuda dan manusia, namun juga Angkatan Laut yang kuat dengan banyak kapal perang untuk melengkapi armada perang di laut. Negara-negara Eropa berlomba membangun angkatan laut dalam rangka mempertahankan wilayah lautnya dan sebagai pasukan pemukul dari arah pantai. Hal tersebut juga dilakukan oleh Belanda; walau hanya merupakan kerajaan kecil di Eropa, namun mempunyai wilayah kekuasan yang luas, mulai dari Afrika Selatan hingga Nusnatara. Oleh sebab itu, kapal-kapal perang AL Belanda semakin diperkuat, dengan membuat kapal-kapal perang baru, serta merekrut pemuda-pemuda dari wilayah jajahan, dhi, Nusantara, sebagai prajurit AL Belanda.
Sejumlah besar pemuda Hindia Belanda, terutama dari Sulawesi, Maluku, dan Sunda Kecil, menjadi bagian dari AL Belanda. Mereka menadapat pendidikan dan di berbagai wilayah, misalnya Surabaya, Tegal, Makassar, dan lain-lain. Selain menjadi prajurit AL Belanda, yang bertugas di kapal perang, ada juga yang dilatih sebagai Marine, prajurit tempur dan pelaut AL Belanda.
Sayangnya, keberadaan pribumi di AL Belanda tersebut, tidak diimbangi dengan kesamaan serta kesetaraan gaji serta fasilitas dengan prajurit dan perwira AL yang bule, asli Belanda; bahkan ada peraturan penurunan gaji para pelaut, prajurit Angkatan Laut yang pribumi. Perbedaan perlakuan tersebut, menjadikan sejumlah besar prajurit dan perwira AL hanya menerima nasib dan tak bias berbuat banyak. Mereka “takut” protes, karena bisa terkena hukuman pelanggaran disiplin atau pun pemecatan.
Apalagi, pada masa itu, ada pasal 34 dalam Buku Peraturan Disiplin Tentara, yang berbunyi, “Militer rendahan, yang berulangkali karena perbuatannya yang tidak senonoh dan tidak mau tobat kepada tindakan-tindakan disiplin yang dijatuhkan kepadanya, atau karena kebiadabannya menurunkan martabatnya sebagai militer, dapat diusir dari dalam ketentaraan oleh Menteri Pertahanan atau Wakilnya di Hindia Belanda (R.T. Tjindarbumi, Perintis Pers Indonesia, SP 10 Februari 1978).”
Catatan II
Tahun 1932, Soekarno, waktu itu sudah disapa Bung Karno, keluar dari Penjara Sukamiskin, Bandung, atas undangan “pemuda/i” pergerakan datang ke Surabaya. Bung Karno berpidato di berbagai tempat di Surabaya; sekaligus sebagai momentum bangkit dan menghangatnya semangat revolusiner menuju Indonesia Merdeka di Surabaya. Sejak itu nyaris tiap hari ada demo ataupun rapat terbuka, untuk menuntut kebebasan dan kemerdekaan Hindia Belanda, menjadi Indonesia yang berdaulat penuh. Pada waktu itu, pada setiap kegiatan para peserta memakai badge Merah Putih, nyanyikan Indonesia Raya dan menyerukan yel-yel kemerdekaan.
Ternyata semangat revolusiner tersebut juga merambah masuk ke asrama AL Belanda di Surabaya, para Marine masih belia terbakar dengan semangat serta jiwa nasionalisme, serta cita-cita kemerdekaan Hindia Belanda. Mereka, mecapai ratusan, ikut dan melakukan protes dan demo terhadap ketidakadilan Angkatan Laut Kerajaan Belanda. Bahkan, mereka menolak perintah, “dilarang demonstrasi atau pun rapat umum.”
Agaknya, protes dan demo tersebut menjadikan Pemerintah Hindia Belanda di Surabaya tak sanggup mengatasinya; pemerintah kemudian mengarahkan tentara, dhi. KNIL. Pada 5 Februari 1933, para pendemo tersebut, sebanyak 500 orang ditangkap dan dipenjarakan.
Catatan III