Dengan demikian, kasus-kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan yang telah terjadi jauh sebelum 20 Oktober 2014, ketika Jokowi-JK menjadi Presiden dan Wapres RI, tidak diselesaikan, justru bertambah parah pada tahun 2015. Sejak 20 Oktober 2014 – 20 Oktober 2015, dan memasuki 2016, Jokowi-JK masih tetap asyik dengan tata kelola pemerintahan, termasuk melakukan berbagai pembangunan, namun melupakan masalah intoleransi di Nusanatara. Sehingga selama 2015, yang terjadi adalah hubungan tidak nyaman pada anak bangsa yang mengalami tindak intoleran, bahkan berujung pada korban luka serta meninggal dunia.
Agaknya yang terjadi adalah, adanya kelambanan pemerintah, jika tak mau disebut melupakan, menanggulanggi kasus-kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Lihat saja warisan peristiwa dan tindakan intoleransi yang diteriman oleh Jokowi-JK, pembangunan geudng gereja, terutama di Bekasi, Bogor, Sumbar, Jambi, Banten; pembongkaan sejumlah Gedung Gereja di Aceh; derita serta meranannya pengungsi Syiah Sampang, Madura, Ahmadiyah di Transito, Nusa Tenggara Barat; juga penyerangan dan penolakan pembangunan masjid di Bitung, Sulut, serta aksi-aksi garang yang dilakukan oleh Front Pembela Islam.
Semuanya itu menunjukan bahwa ungkapan adanya “kebebasan beragama dan berkeyakinan” di Nusantara tercinta, hanya jargon untuk menyamankan pendengaran serta jualan para politisi dan pejabat. Itulah yang terjadi di antara kita.
Di negeri ini, agama telah dijadikan elemen fundamental hidup dan kehidupan manusia, sehingga ada ungkapan manis kebebasan dan berkeyakinan, walau tak ada kebebasan berpindah agama, tapi terjadi pemaksaan keyakinan dan berpindah agama.
Ungkapan kebebasan beragama memberikan arti luas yang meliputi membangun rumah ibadah dan berkumpul, menyembah; membentuk institusi sosial; publikasi; dan kontak dengan individu dan institusi dalam masalah agama pada tingkat nasional atau internasional.
Kebebasan beragama, menjadikan seseorang mampu meniadakan diskriminasi berdasarkan agama; pelanggaran terhadap hak untuk beragama; paksaan yang akan mengganggu kebebasan seseorang untuk mempunyai agama atau kepercayaan. Termasuk dalam pergaulan sosial setiap hari, yang menunjukkan saling pengertian, toleransi, persahabatan dengan semua orang, perdamaian dan persaudaraan universal, menghargai kebebasan, kepercayaan dan kepercayaan dari yang lain dan kesadaran penuh bahwa agama diberikan untuk melayani para pengikut-pengikutnya. Dan ini hanya harapan yang terus menerus menjadi pengharapan. Karena, bagi/untuk mereka yang minoritas, tak ada kebebasan seperti itu.
Menunggu “Blusukan” Jokowi-JK
Karya dan kerja Jokowi-JK sangat terasa; mereka berdua, walau tetap saja mendapat penilaian miring dari pada oposisi, tetap saja tak gentar melakukan perubahan demi kemajuan Bangsa dan Negara. Jokowi-JK, bisa dikatakan melakukan upaya-upaya dalam rangka memperbaiki sikon bangsa pada berbagai bidang hidup dan kehidupan.
Namun, untuk “area” kebebasan beragama dan berkeyakinan, saya bisa katakan, Jokowi-JK belum menyentuhnya. Oleh sebab itu, saya dan mungkin banyak elemen bangsa, menanti Jokowi-JK “jalan-jalan” ke area penuh tantangan tersebut; area yang di dalamnya ada banyak orang tersisih dan termarginalkan.
Walau melalui jajarannya, Presiden telah menerbitkn Surat Edaran Menteri Dalam Negeri terkait Peraturan Daerah diskriminatif juga Surat Edaran Kapolri tentang Ujaran Kebencian, namun itu belum cukup; masih memerlukan aksi-aksi konkrit untuk melindungi hak minoritas.