Kebijakan Megawati, sebagai Presiden dan Ketum PDIP, sangat mendukung proses penegakkan supremasi sipil, meskipun terkesan di publik lebih mengarah pada upaya remiliterisasi yang bertentangan proses penegakkan supremasi sipil. Megawati berupaya menjaga agar perubahan pasal 2 ayat 1 UUD 1945 tidak berimbas pada karir politik ke depan.
Â
Hal-hal di atas adalah sebagian kecil dari hasil temuan dari Freddy Ndolu, dalam Disertasi yang berjudul "Proses Politik Penegakkan Supremi Sipil Era Pemerintahan Megawawiti Soekarnoputri 2001-2004; Studi Tentang Tarik Menarik Kepentingan Posisi Politik di Parlemen pada Sidang Tahunan MPR tahun 202. Freddy Ndolu yang mempertahankan Disertasi pada ujian terbuka, Promosi Doktor, pada Jumat 24 Juli 2015 di Fakultas Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia tersebut, berhasil mendapt "Nilai Kelulusan" Sangat Memuaskan dari semua penguji.
Ada dua alasan Freddy Ndolu, yang lahir di Kupang pada 16 Nopmeber 1961 dan menyelesaikan pendidikan dasar hingga menengah di kota kelahirannya, melakukan penelitian yang mendalam mengenai Penegakkan Supremasi Sipil pada Era Megawati. Hal itu adalah, alasan praktis penegakkan supremasi sipil melalui amandemen pasal 2 ayat 1 UU 1945 merupakan pra-syarat proses konsolidasi demokrasi di Indonesia; dan yang kedua adalah alasan praktis, kebijakan Megawati dalam penegakkan supremsi sipil dilihat publik memiliki kecenderungan ke arah re-militerisasi. Selain itu, dalam disertasi Freddy, terlihat dengan jelas bahwa proses penegakkan supremasi sipil pasca reformasi, dimulai sejak Presiden Habibie. Habibie meletakan dasar demokrasi dan demokratisasi, Gus Dur melakukan pendobrakan terhadap sistem lama yang kokoh; dan akhirnya Megawati memutuskan secara konstitusional keberadaan TNI di Parlemen.
Pada waktu itu, isue krusial pada waktu ST MPR 2002, adalah Pasal 2 ayat 1 UU 1945
Majelis permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan Undang-Undang.
Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang.
Perubahan beberapa kata pada ayat tersebut tidak terjadi dengan mudah dan tergesa-gesa; ada suatu proses yang cukup rumit; dan menyangkut percakapan politik dan kepentingan politis di dalamnya. Proses tarik ulur, jika tak hati-hati maka cenderung berujung pada dead lock. Dan untuk menghindari titik krisis politik, dan memungkinkan merambah keluar Gedung Parlemen, keluar, Megawai melakukan langkah-langkah strategis. Kebijakan yang di ambil, berlanjut pada keputusan secara konstitusional keberadaan militer di parlemen. Hal tersebut antara lain,
- Mendorong ketua PAH I MPR, Jacob Tobing, untuk segera mengambil keputusan tentang pasal 2 yat 1, yang menjadi landasan konstitusional keberdaan TNI di MPR
- Menjaga ekses-ekses yang ditimbulkan oleh adanya kekecewaan para pihak yang tidak setuju pada amandemen Pasal 2 ayat 1
- Mengakomodasi corporate interest and personal interest TNI dalam rangka peningkatan profesioanlisme TNI
- Melanjutkan kebijakan tentang penetapan Menteri Pertahanan dari kalangan sipil
- Melanjutkan kebijakan Gus Dur uji kepatuhan dan kelayakan, fit and proper test, terhadap calon Panglima TNI, dalam rangka penguatan supremasi sipil