Cipanas, Jawa Barat | Rabu, 6 Februari 2014, di pantai Pangandaran, puluhan imigran gelap terdampar, mereka menumpang sekoci oranye yang keren.Â
Mereka adalah pelarian politik akibat tak tahan terhadap konflik di negaranya, nun jauh di Afrika Utara, Timur Tengah, dan Asia Selatan. Peristiwa seperti itu, plus pelarian Rohingya, sudah sering dan menyebar di berbagai wilayah Nusantara.
Kali ini, mereka yang ada di pantai Pangandaran, para pengungsi menggunakan sekoci dengan tingkata keamanan yang cukup memadai; yang belakangan dilaporkan berasal dari Kapal-kapal berbendera Australia.
Agaknya, ada kapal dari Australia, yang bertugas memulangkan pengungsi, pencari suaka, imigran gelap dari Australia.Â
Ketika sudak melewati garis pantai Pulau Christmas, para pengungsi, pencari suaka, imigran gelap tersebut dipindahkan ke sekoci (yang telah dipersiapakan), dan disetting untuk sampai di Selatan Jawa, Indonesia. Kisah selanjutnya, sudah diketahui bersama.
Pemerintah Australia telah dengan sengaja memasukkan barang atau orang secara ilegal ke wilayah Indonesia. Autralia dituduh sebagai Negara yang memfasilitasi orang-orang tidak berdokumen resmi masuk ke wilayah Indonesia.
Apa pun reaksi tersebut, sangat jelas bahwa Australia memulangkan pengungsi, pencari suaka, imigran gelap dari Australia. Mereka tak mau berurusan dengan orang-orang yang secara bergelombang masuk ke wilayahnya secara tak sah.Â
Dengan demikian, apakah Australia melanggar Konvensi Internasional tentang pengungsi, pencari suaka, imigran gelap? Jawabannya, Ya dan benar.
Selanjutnya, sebagai negara besar, Australia pasti tahu bahwa tindakan mereka itu melanggar  KONVENESI PBB tentang STATUS PENGUNGSI, namun mereka tetap melakukan tindakan pelanggaran tersebut.
Mengapa hal tersebut dilakukan!? Alasannya sederhana, Australia belajar dari Eropa; mereka tak mau melakukan kesalahan yang sama seperti negara-negara Eropa.
Sudah puluhan tahun orang-orang yang dikatorikan sebagai keluar dari negaranya karena berbagai alasan, menyerbu Eropa, dan di sana, mereka diperlakukan lebih baik dari negeri asalnya. Tak sedikit yang mengalami peningkatan taraf hidup dan kehidupan.
Selama bertahun-tahun, rakyat negara-negara Afrika Utara didera kesenjangan sosial dan ekonomi yang begitu menganga akibat imperialisme dan cengkeraman rezim diktator yang didukung negara-negara Barat.Â
Untuk itu, mereka lebih memilih mempertaruhkan hidupnya di negara-negara Eropa demi masa depan yang lebih baik. Belakangan, kaum menengah terdidik dari Afghanistan, Irak, Syria, dan negara-negara Timur Tengah lainnya, ikut bermigrasi ke Eropa, meninggalkan negerinya yang dilanda konflik.
Gelombang arus manusia dari Afrika Utara, Timur Tengah, dan Asia Selatan, pada tahun terakhir ini, menurut Badan Pengelolaan Kerjasama Operasional di Batas Eksternal Negara-Negara Anggota Uni Eropa (Frontex), mencapai 1,5 juta orang; belum lagi dari tahun-tahun sebelumnya.
Mereka tersebar di semua negara Eropa. Membanjirnya para pelarian politik, pengungsi, imigran, dan pencari suaka serta penerimaan mereka oleh negara-negara Eropa, sejak sekian tahun lalu hingga sekarang, tentu saja menimbulkan berbahagia masalah sosial, erkonomi, budaya, bahkan keamanan.Â
Namun, dengan berbagai kebijakan politik negara-negara Eropa, para pelarian politik, pengungsi, imigran, dan pencari suaka tersebut masih bisa tetap ada dan bertahan di sana.
Sayangnya, tak semua dari para pelarian politik, pengungsi, imigran, dan pencari suaka itu, adalah orang-orang yang penuh (ber)syukur dan tahu bererimakasih; mereka tak bisa beradaptasi dengan nilai-nilai lokal di mana merek berpijak.Â
Sebagai pendatang yang dilegalkan (maupun yang belum), mereka meminta dan menuntut lebih dari apa yang didapat. Dan ketika permintaan tersebut ditolak, maka mereka pun menanduk negara yang menampungnya.Â
Lihat saja, sebagai contoh, kerusuhan dan penjarahan tahun 2011, yang dilakukan oleh ia imigran asal Afrika serta Asia.Â
Kerusushan yang tak jelas pemicunya, membut Inggris lumpuh dari berbagai kegiatan. Kerusuhan London Agustus 2011, seringkaili disebut sebagai dilakukan oleh minoritas terhadap mayoritas.Â
Begitu bringas dan brutalnya orang-orang melakukan pengurusakan, serta menimbulkan ketakutan, sampai pers Eropa menyebut bahwa Inggris dijajah oleh Imigran dari Afrika dan Asia.Â
Kasus kerusuahan yang sama, dengan skala yang lebih keci, juga pernah terjadi di negara-negara Eropa lainnya, namun dengan cepat teratasi oleh aparat keamanan.Â
Akibat lanjutan dari kerusuhan (yang dipicu) oleh para imigran tersebut, sempat ada usulan (oleh para politisi di Eropa) agar memulangkan mereka ke negeri asalnya.Â
Rencananya, mereka yang menjadi trouble maker hendak diusir, namun hal tersebut urung dilaksanakan, karena belum tentu akan diterima oleh negara asalnya.Â
Peristiwa kerusuhan di Inggris tersebut, ternyata berdampak besar terhadap sikap pemerintah negara-negara Eropa lainnya, negara-negara yang menampung imigran asal Timur-Tengah dan Afrika, timbul semacam antipati dan ketidaksenangan terhadap mereka, bahkan cenderung mendapat perlakuan tidak menyenangkan.Â
Dampak lainya adalah, negara-negara Eropa lainnya merasa terancam keamanannya oleh para pendatang dari Afrika dan Timur-Tengah.Â
Oleh sebab itu, Eropa semakin mempersulit menjaga wilayahnya agar tak disusupi oleh imigran gela, serta memperumit persyaratan pemintaan suaka dari negara lain.Â
Mereka tak mau mengulang kesalahan masa lalu, atas nama kemanusian menampung orang-orang yang akhirnya menjadi trouble maker.Â
Nah.Â
Kembali ke kasuh Australia yang memulangkan paksa para pengungsi dan imigran dari Afrika, Timur Tengah, dan Asia Selatan (lucunya, mereka tidak melakukan hal yang sama untuk pelarian dari Papua) dengan berbagai cara, termasuk gunakan Kapal dan sekoti pendaratan (lihat foto di atas).Â
Mungkin saja, belajar dari pengalaman Inggris, induk semang mereka, Australia tak mau kecolongan dan menyesal dikemudian hari. Dengan demikian, mereka melakukan hal-hal yang sepatutnya tak perlu diperbuat sebagai negara besar dan kaya.Â
Bisa saja Australia juga belajar dari Indonesia; tak sedikit pengungsi, imigran gelap, atau yang melarikan diri dari negaranya (misalnya Myanmar), yang berulah ketika ditampung pada rumah/asrama transito RI.Â
Ada yang menuntut makanan enak, meminta fasilitas lebih, atau pun melarikan diri (entah kemana, dan sampai kini tak pernah ditangkap), bahkan bunuh-bunuh antar sesama pengungsi.Â
Atau bisa jadi, Australia juga belajar dari warga eks pengungsi Timor-Timur, yang kini suka membuat onar di Kupang, Timor Barat, NTT. Jadinya salah siapa dan siapa yang salah ...!?
Opa Jappy | Indonesia Hari Ini
LINK TERKAIT
KONVENSI PBB tentang STATUS PENGUNGSI
Disetujui pada tanggal 28 Juli 1951, oleh Konferensi para Duta BesarBerkuasa Penuh Perserikatan Bangsa-Bangsa, tentang Status Pengungsi dan Orang-orang Tidak Berkewarganegaraan, yang diundang untuk bersidang di bawah resolusi Majelis Umum 429/V/ tertanggal 14 Desember 1950
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H