[caption id="attachment_361557" align="aligncenter" width="512" caption="kompas.com"][/caption]
Kepada DPRD DKI Jakarta, Sekretaris Dewan Pimpinan Daerah (DPD) FPI DKI Jakarta, Habib Novel Bamu'min, "Kita punya sikap untuk menampung aspirasi umat Islam DKI yang resah dengan Ahok yang amoral dan arogan, maka kita demo meminta untuk tidak menjadi Gubernur bahkan turun dari Wagub Jakarta;" sekaligus menyampaikan tujuh tuntutan (sebagaimana ada pada banyak media cetak dan news online),
- Meminta Ahok segera mengundurkan diri dari jabatan calon Gubernur maupun Wakil Gubernur DKI Jakarta.
- Meminta DPRD DKI Jakarta Jakarta untuk menurunkan Ahok sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta.
- Mendesak DPRD DKI Jakarta segera mengeluarkan SK atau Perda tentang jabatan di pemerintahan yang beragama non-Islam.
- Mendesak DPRD DKI Jakarta untuk mengedepankan dan menjungjung tinggi asas proporsionalisme dan rasa keadilan terhadap Pilkada.
- Meminta DPRD DKI Jakarta untuk menjunjung tinggi ayat suci di atas ayat konstitusi.
- Meminta DPRD DKI Jakarta mendukung KMP di DPR RI untuk menerapkan Pilkada lewat DPRD yang menjunjung tinggi asas musyawarah dan mufakat.
- Mendorong Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta terpilih mengedapkan pembangunan moral dan spiritual dibanding fisik semata.
Mari sejenak, merenungkan pernyataan dari FPI, yang katanya atas nama ISLAM, tersebut. Hal yang menarik sebagai pembuka adalah, menuru FPI, "Kita punya sikap untuk menampung aspirasi umat Islam DKI yang resah dengan Ahok yang amoral dan arogan, maka kita demo besok meminta untuk tidak menjadi gubernur bahkan turun dari wakil gubernur Jakarta, ..."
Di sini, FPI, atas nama ISLAM, telah melakukan pencemaran nama baik. Mereka menuding bahwa "Ahok amoral;" Suatu tudingan penuh penistaan, fitnah, dan penuh dengan kekejian dari orang-orang katanya beragama. Dengan demikian FPI harus membuktikan atau menujukkan bukti tindakan amoral yang dilakukan oleh Ahok; jika tidak, maka bisa dibawa ke ranah hukum. Tudingan dan tuduhan amoral, atau seseorang yang amoral, biasanya datang atau muncul dari hal-halyang telah ada sebelumnya, dan itu dikethaui oleh bukan hanya satu orang, melainkan banyak saksi. Jadi, jika FPI menyatakan bahwa Ahok amoral, maka seharusnya mereka menunjukan bukti serta saksi. Jika tak ada, maka, gampangnya, FPI lah yang amoral bukan Ahok.
Selanjutnya.
Meminta Ahok segera mengundurkan diri dari jabatan calon Gubernur maupun Wakil Gubernur DKI Jakarta. Suatu tuntutan yang sama sekali tak mendasar. Tuntutan yang hanya atas nama arogansi keagamaan yang rasis, radikal, serta kebencian terhadap orang lain yang berbeda agama.
Meminta DPRD DKI Jakarta Jakarta untuk menurunkan Ahok sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta. Hampir sama dengan di atas. FPI membayangkan bahwa DPRD DKI akan mengikuti permintaan mereka. Mungkin saja, ada juga anggota DPRD DKI yang mencoba menemukan cara menjatuhkan Ahok, namun ia akan pusing dan lelah sendiri, karena tidak menemukan celah utuk itu.
Menanggapi tuntutan FPI, Ketua DPRD DKI Jakarta, Prasetyo Edi Marsudi, menegaskan bahwa "Pelantikan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menjadi gubernur DKI Jakarta sudah sesuai dengan konstitusi. Pengangkatan Ahok sebagai gubernur sudah sesuai dengan Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah, yakni bila kepala daerah terpilih menjadi pejabat lain, maka jabatan kepala daerah otomatis digantikan wakil kepala daerah. Itu bukan hak FPI. Ini konstitusi"
Mendesak DPRD DKI Jakarta segera mengeluarkan SK atau Perda tentang jabatan di pemerintahan yang beragama non-Islam. Jik yang ini, jelas, FPI memperilhatkan bahwa mereka bukan membela atau pembela Islam, melainkan "penindas yang menggunakan kebesaran (agama) Islam." FPI mau menjadikan dirinya sebagai Penindas Non-Islam, sehingga semua jatabatan yang ada di DKI, harus menjadi milik mereka yang beragama Islam. Logis warasnya di mana!?
Mendesak DPRD DKI Jakarta untuk mengedepankan dan menjungjung tinggi asas proporsionalisme dan rasa keadilan terhadap Pilkada. Jika yang ini, apa tak salah!? Justru karena "mengedepankan dan menjungjung tinggi asas proporsionalisme dan rasa keadilan ... " maka muncul Jokowi-Ahok; dan ketika Jokowi menjadi Presiden, otomatis Ahok sebagai Gubernur. Lalu, mengapa harus diigugat atau disuruh turun. Uaaaaaaaaaneh bin ajaiiiiiiiiiiiiiiiiib.
Meminta DPRD DKI Jakarta untuk menjunjung tinggi ayat suci di atas ayat konstitusi. Lho, kapan negeri menjadi Negara Agama!? Jika tuntutan ini dilakukan, mka bingungnglah negeri. (Hampir) Semua agama mempunyai Kitab Suci dan berisis ayat-yata suci; lalu, jika semua ayat menjadi utama dan pertama, serta di atas Konstitusi, maka kacaulah negeri. Sebab, semua agama, atas nama keadilan yang diperjuangkan agama, inginkan mereka yang utama. Oleh sebab itu, dari pada ribut, dalam rangka mengatur dan pengaturan berbangsa serta bernegara, maka maka lebih penting junjung tinggi konstitusi. Sebaliknya, pada hubungan dengan Tuhan (yang diwujudnytakan dalam hidup serta kehidupan setiap hari), maka ayat suci lah yang diutamakan. Orang yang gunakan teks-teka suci yang penuh damai dan perdamain, akan menunjukan cara dan perilaku hidup yang cinta damai serta perdamaian. Pertanyaannya, FPI menggunakan ayat suci mana!?
Meminta DPRD DKI Jakarta mendukung KMP di DPR RI untuk menerapkan Pilkada lewat DPRD yang menjunjung tinggi asas musyawarah dan mufakat. Tak perlu dibahas; karena tujuannya jelas, dalam rangka menghilangkan aspirasi rakyat atau publik.
Mendorong Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta terpilih mengedepankan pembangunan moral dan spiritual dibanding fisik semata. Lho, ini malah cukup aneh. Katanya, FPI dibentuk dalam rangka membela dan membina umat, artinya ada funssi lain, selain demo-demo, serbu menyerbu, sweeping, protes pembangunan tempat ibadah, mereka membina iman umat agar tak menyimpang dari kehendak Allah seperti dinyatakan dalam Quran. Lalu, mengapa meminta Gubernur dan Wagub mengedepankan pembangunan fisik!? Negara, pada umumnya, hanya membuka jalan dan menunjang sarana, jadi ormas keagamaan seperti FPI lah yang melakukan bina spiritual. Tanya, sudahkah FPI lakukan itu!?
Dari semua yang di atas; agaknya FPI asal menulis tuntutan, tanpa mempertimbangkan dengan akal yang sehat; atau memang itu adalah hasil pemikiran sehat dan normal mereka. Jadi, betul kata Pakar ilmu politik dari Universitas Indonesia (UI), Arbi Sanit menilai, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, sangat layak menjadi Gubernur DKI Jakarta.
“Ia berintegritas, mempunyai kemampuan untuk memimpin Jakarta. Apalagi secara hukum dan politik ia berhak menjadi Gubernur DKI. Oleh karena itu, orang yang menolak Basuki untuk menjadi Gubernur DKI Jakarta adalah orang tidak waras.
Kalau alasan mereka menolak Basuki karena ia non Muslim, ya mereka yang menolak saja pergi dari Indonesia. Orang yang rasis seperti itu tidak cocok tinggal di Indonesia, karena Indonesia negara plural yang dijamin Pancasila dan UUD 1945.”
Arbi mengatakan seperti itu terkait FPI yang berunjuk rasa di Balai Kota DKI Jakarta, dengan tema, “Tolak Ahok” atau menentang pengangkatan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Menurut Arbi, ”FPI adalah sekelumit manusia Indonesia.Oleh karena itu, tidak perlu dihiraukan. Kalau mereka demo mengganggu ketertiban umum serta rasis polisi harus tangkap dan adili mereka sesuai hukum yang berlaku. Yang dipilih menjadi pemimpin saat ini adalah orang berintegritas dan berani seperti Basuki. Bukan karena agamanya mayoritas atau minoritas. “Yang korupsi dalam pengadaan Kitab Suci itu beragama mayoritas. Malu dong,” Tapi, FPI punya malu atau tidak!
Entahlah
Opa Jappy - Depok, Jawa Barat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H