Kedatangan jenazah Gayatri di Ambon disambut oleh Gubernur Maluku Said Assagaf beserta istri dan Sekertaris Kota Ambon, Antony Gustav Latuheru. Said Assagaf juga ikut mensalatkan jenazah Gayatri di Masjid Raya Al Fatah Ambon.
Said Assagaf menyatakan masyarakat Maluku dan bangsa Indonesia berduka atas berpulangnya Gayatri, yang merupakan salah satu putri terbaik bangsa.
Agaknya, Gayatri bukan sekedar gadis Ambon yang merantau jauh dari tempat kelahirannya. Gayatri memiliki sejumlah prestasi di Indonesia dan Internasional.
Jenazah Gayatri dimakamkan Taman Makam Bahagia, Kapahaha Kota Ambon; tempat itu merupakan makam para anggota dan purnawirawan TNI dan Polri yang meninggal dunia.
Adakah kelebihan dia, sehingga di makamkan di tempat tersebut!?
Sebelum pemakaman, ayahanda Jenazah Gayatri Dwi Wailissa, Dedi Darwis menyatakan kepada publik,
"Gayatri Dwi Wailissa merupakan anggota Badan Intelijen Negara; sejak tiga bulan terakhir ditempa secara fisik di Markas TNI Cijantung di bawah komando Panglima TNI Jenderal Muldoko. Kematian Gayatri disebabkan karena pecah pembuluh darah di otak yang menyebabkan dia mengalami koma selama beberapa hari sebelum akhirnya meninggal.” [tribune].
Mengejutkan!?
Tidak juga.
Kematian seseorang, tepatnya anggota TNI/Polri pada saat menjalankan tugas atau pun masih dalam proses pendidikan dan pelatihan, itu adalah "hal yang biasa;" mungkin setiap tahun atau angkatan masuk pendidikan, hal seperti itu terjadi.
Namun, kematian Gayatri Dwi Wailissa, menjadi menarik perhatian banyak orang, sebab ia seorang jenius bahasa; menguasai 14 bahasa asing; sesuatu yang mungkin saja, belum ada di Indonesia.
Di balik itu, sesuai dengan pengakuan Dedi Darwis, maka Gayatri Dwi Wailissa masih dalam taraf pendidikan; artinya ia belum "resmi" dilantik sebagai Intel Negara.
Agaknya, kemampuan Gayatri yang luar biasa itu, menjadikan BIN merekrut dirinya untuk menjadi bagian dalam fungsi dan tugas sebagai seorang "Sandi Negara."
Ini juga bermakna, Gayatri yang bukan seorang Mahasiswa/i Sekolah Tinggi Sandi Negara atau lulusan Sekolah Tinggi Sandi Negara, namun karena alasaan dan kapasitas khusus pada dirinya, ia direkrut oleh BIN.
Setelah direkrut, Gayatri Dwi Wailissa bersama teman-temannya, dengan sikon yang sama, harus mengikuti pendidikan dan pelatihan oleh para Instruktur dari BIN di Mabes TNI.
Di dalamnya, ada pelatihan fisik, bela negara, idiologi, psikologi, penguasaan medan atau matra darat, laut, dan udara, termasuk penggunaan senjata dan teknik-tenik kamuflase menutup diri dari publik; identitas dirinya, misalnya kerja, pangkat, dan jabatan, tak perlu publik tahu.
[Notes: Seorang anggota BIN, tak pernah menyampaikan kepada publik dan keluarganya, bahwa ia adalah Intel Negara. Bahkan, setelah pensiun pun, ia mengalami "cuci ingatan" sehingga tak mau bercerita tentang tugas dan kerjanya selama berdinas sebagai anggota BIN].
Bisa saja, proses pendidikan yang dialami oleh Gayatri Dwi Wailissa, belum mencapai "tingkat yang tinggi;" masih bersifat tempaan fisik, misalnya lari, guling di tanah, lompat, tiarap, merayap di bawah kawat berduri, dan sejenis dengan itu; semuanya melelahkan.
Di samping itu, Gayatri Dwi Wailissa pun belum mendapat atau menerima suatu konsep "siapa diri intel yang sebenarnya," dalam arti, ia masih begitu terbuka tentang dirinya.
Sebab, dari kata sambutan ayahnya, bisa menarik suatu simpulan kecil bahwa Gayatri "membuka kartu" tentang sikon dirinya.
Juga, ayahnya belum tahu bahwa jika ada anggota keluarga yang menjadi intel atau anggota BIN, maka hal tersebut "tak perlu diungkap" ke publik. Itu adalah "hukum yang belaku dalam dunia telik sandi."
Kini semuanya sudah berlalu. Di balik itu, kematian Gayatri ketika dalam latihan dan pengakuan ayahnya, ada pembelajaran untuk BIN ketika merekrut seseorang.
BIN perlu juga melihat, bukan hanya jeniusnya, namun juga kemampun fisik yang berhubungan denan kejeniusannya tersebut.
Sebab, tidak sedikit orang jenius, namun fisik dan beban pikiran atau psikologisnya tak sanggup menerima proses tempaan ala militer di BIN. Sebaliknya, cukup banyak orang tak jenius, namun mempunyai kemampuan seperti diharapkan BIN atau sesuai dengan kriteria mereka.
Di samping itu, jika ada perekrutan dari "bukan lulusan atau mahasiswa Sekolah Tinggi Sandi Negara dan Anggota TNI/Polri, maka sejak dini, harus menyampaikan tentang "sosok anggota BIN yang tertutup, serta hanya diketahui oleh lingkaran yang sangat terbatas."
Katakanlah, seperti menandatangani "form kerahasiaan" diri.
Dengan demikian, tak ada kejutan-kejutan, seperti yang diungkap oleh media berdasar kata sambutan ayahanda Gayatri; karena ia sudah tahu tentang apa serta siapa anaknya, dan itu adalah suatu kerahasiaan.
Apa yang terjadi pada Gayatri Dwi Wailissa, adalah suatu kerugian besar bagi BIN serta Bangsa dan Negara; ia meninggalkan banyak hal sebelum waktunya.
Selamat Jalan Gayatri Dwi Wailissa
Opa Jappy | Indonesia Hari Ini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H