[caption id="attachment_414379" align="aligncenter" width="500" caption="doc pribadi"][/caption]
Gadis manis dalam foto di atas, bernama Natasya Evalyne Sitorus; Boru Sitorus, kelahiran Tembagapura Papua. Kontak pertama antara saya dengan Tasya, biasa ia dipanggil, sekian belas tahun yang lalu. Ketika itu, Tasya dan Rina (salah satu sahabatnya dari Papua) masuk dan belajar di Lab School Rawamangun; dan saya adalah salah satu guru dan sekaligus pembina kerohaniannya. Hingga saat ini, kami selalu berhubungan, sebagai bapak dan anak. Setiap saya ulang tahun, Tasya pasti paling awal memberi ucapan selamat, Karena jika saya HUT 26 Agustus, maka besoknya, 27 Agustus adalah HUT Tasya. Hingga kini, kami selalu kontak, bukan sekedar say hello, namun saling membagi tentang nilai-nilai hidup dan kehidupan.
Tasya, termasuk anak yang brilian dan idealis, dan perhatiannya pada kemanusian, di atas rata-rata teman sebayanya. Ketika itu, saya sudah memperhatikannya dengan khusus. Pada suatu waktu, saya bertanya kepadanya, tentang "Kemana setelah SMA!? Jika tak salah ingat, ia menjawab dengan sederhana, "Akan ke Psikologi!? Saya kembali bertanya "Alasan dan Motivasinya!? Jawaban Tasya cukup membuatku kaget; ia menjawab, Karena mau seperti Bapak, maksudnya Bapak Jappy; idealis dan perhatian kepada nilai-nilai kemanusiaan dan pengembangan kepribadian. "
Dan memang benar, ketika lulus dari Lab School, teman-temannya berlomba ke Fakultas dan Jurusan favorit dan maha, Tasya, dengan pasti masuk ke Psikologi; pilihanynya adalh Fak Psikologi Unika Atmajaya. Di Atmajaya, menurut pengakuan teman-temannya dan Ayah-Ibu Tasya, ia mulai menunjukan aktivas dan perhatian ke/pada teman-teman kecil yang menderita HIV/ADIS.
Mereka membentuk Lentera Anak Pelangi; dan kini Tasya sebagai Manajer Advokasi dan Psikososial Lentera Anak Pelangi – Pusat Penelitan HIV Unika Atma Jaya.
Bagi Tasya, panggilan dan pelayanan terhadap anak-anak yang menderita HIV/ADIS, muncul karena adanya Diskriminasi Terhadap Anak Dengan HIV. Suatu waktu, Tasya mengirim image dan tulisan tentang pengalamannya
Mata Nenek Arni berkaca-kaca. Perlakuan diskriminatif terhadap cucunya, Rahmat, yang ditolak bersekolah karena berstatus HIV positif, selalu membuat ia menangis. Padahal kejadian itu sudah enam tahun berlalu. “Nenek selalu dihantui rasa bersalah karena menceritakan penyakit Rahmat waktu itu kepada kepala sekolah. Sejak itu, Nenek sebisa mungkin merahasiakan status HIV-nya kepada siapa pun,” tuturnya.
Nenek Arni tidak sendirian. Saya percaya ada banyak kasus diskriminasi lainnya di lingkungan sekolah akibat status pengidap HIV. Ke depan, kasus semacam ini bisa lebih banyak lagi karena orang dengan HIV positif terus meningkat. Saat ini saja jumlah anak dengan HIV yang dilaporkan di Indonesia mencapai 3.408 orang, sedangkan jumlah orang dewasa dengan HIV positif adalah 134.042 orang (Ditjen P2PL, 2014).
Perlakuan diskriminatif itu niscaya justru membuat anak-anak dengan HIV dan keluarganya kian sulit mendapatkan hak-hak mereka sebagai anak-anak. Mereka bahkan bisa membahayakan orang-orang di sekitarnya tanpa disadari. Akibat trauma atas perlakuan yang didapat Rahmat, misalnya, Nenek Arni menyembunyikan status HIV cucunya, bahkan dari sang anak sendiri. Ia tidak pernah menceritakan status HIV itu kepada Rahmat, yang sekarang sudah masuk SMP, dan cucu ketiganya, Hafidz, 7 tahun, yang juga berstatus HIV positif.
Rahmat dan Hafidz hanya tahu bahwa mereka harus minum obat 12 jam sekali, setiap hari dan seumur hidup. Mereka tak tahu obat itu adalah anti-HIV. Yang mereka ketahui, obat yang diminum itu adalah obat jantung, asma, anemia, atau bahkan obat cantik. Kepada guru kelas Rahmat, Nenek Arni juga terpaksa berbohong, bahwa cucunya sakit jantung sehingga pasti akan ada satu hari-Selasa atau Jumat setiap bulan-ketika Rahmat harus izin tidak masuk sekolah untuk berobat ke rumah sakit. Orang tua lainnya, dalam catatan kami, juga terpaksa melakukan hal yang sama.
Ini jelas tak boleh dibiarkan. Nenek Arni tidak pernah tahu sampai berapa lama ia akan menutupi status HIV cucunya. Tapi ia tahu, dia dan cucunya belum siap untuk tahu soal HIV. Mungkin tak akan pernah siap. Karena itu, negara harus turun tangan membantu.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mengamanatkan bahwa setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadi dan tingkat kecerdasan sesuai dengan minat dan bakatnya. Prof dr Fasli Jalal, PhD-saat itu menjabat Wakil Menteri Pendidikan Nasional-menyampaikan dalam film berjudul Berikan Kami Harapan, sebuah film dokumenter yang dibuat oleh Lentera Anak Pelangi pada 2010, bahwa Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan tidak boleh ada diskriminasi terhadap setiap anak dalam mendapatkan hak-hak pendidikannya.