kompas.com Tanggal 9 Januari 2015, Kompolnas mengusulkan lima nama kepada Presiden; dan merekalah yang akan ditunjuk oleh sebagai Kapolri [Baru]. Kelima Jenderal Polisi tersebut adalah
- Kabareskrim Komisaris Jenderal Suhardi Alius
- Kepala Lemdikpol Komjen Budi Gunawan
- Irwasum Komjen Dwi Priyatno
- Wakapolri Komjen Badrodin Haiti
- Kabaharkam Komjen Putut Eko Bayuseno
Dalam tempo singkat, dan tidak pakai lama, Presiden Jokowi langsung menunjuk Budi (yang juga mantan ajudan Megawati Soekarnoputri saat menjabat Presiden) sebagai calon tunggal Kapolri. Namun, kali ini naluri Jokowi salah besar. Naluri ketepatan memilih orang, misalnya seperti Menteri Susi dan Ignatius Johan, yang biasanya “akurat,” kali ini jauh dari harapan.
Tetapi, beda dengan KPK; menurut KPK, Sang Kandidat itu menerima gratifikasi saat menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Karir Deputi Sumber Daya Manusia Mabes Polri periode 2003 – 2006 dan saat menduduki jabatan lainnya di Kepolisian Republik Indonesia.
Penetapan itu, tidak mebuat gentar Komisi III DPRS RI. Menurut kompas.com, "Komisi III DPR menyetujui Komisaris Jenderal Budi Gunawan menjadi kepala Polri. Keputusan itu diambil secara aklamasi setelah Komisi III melakukan proses uji kelayakan dan kepatutan atas calon tunggal kepala Polri yang ditunjuk oleh Presiden Joko Widodo. Bahkan menurut Ketua Komisi III DPR RI Azis Syamsudin "Menyetujui surat Presiden dan secara aklamasi mengangkat Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai kapolri dan memberhentikan Jenderal (Pol) Sutarman. Keputusan tersebut akan dibawa dalam sidang paripurna."
Agaknya, Presiden Jokowi, sekali lagi, sengaja melemparkan "kandidat pilihan dari orang lain" (siapa Si Orang lain itu!? Entah lah) ke ruang depat dan penialain publik.
KPK menyambut dengan dengan penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka; dan ini sesuai harapan banyak pihak serta mereka mendukung langkah KPK. Sementara itu, Pihak Polri dan ndonesian Police Watch, IPW, tetap gigih membela Budi Gunawan; dan Komisi III DPR pun melakukan yang sama.
Kini, Presiden Jokowi berdiri di tengah-tengah; ia ada di antara sisi rakyat dan KPK, dan sebelalh lainnya ada IPW dan Komisi III DPR.
Pada sikon itu, Presiden Jokowi, harus melakukan pilihan yang tepat, Ikuti DPR dan OPW atau KPK dan Rakyat. Pastinya, Presiden juga harus melihat bahwa dirinya dipilih bukan oleh DPR dan IPW, namun rakyat; atau Presiden mau dengan kesadaran tinggi melupakan rakyat serta KPK, dan demi orang lain, Sang Lain, dukungan politik dari DPR, maka ikuti pilihan Komisi III.
Orang Kupang bilang, "Ama hati-hati oooo; jang salah pilih. Kalo salah pilih, maka beking rakyat hati sakit".
LINK TERKAIT
Lebih Baik Mengganti Kandidat, daripada Memecat Setelah Menjabat
Polisi berasal politie (Latin, politia; Yunani, polis, politeia) bermakna warga kota atau pemerintahan kota. Di masa lalu, pada dunia Helenis, Polis, merupakan negara kota yang otonom dan mandiri, tapi biasanya tergabung dengan aliansi (bersama) polis lainnya, sehingga terbentuk atau membentuk semacam Kerajaan.Karena semakin kompleksnya sikon hidup dan kehidupan Polis, maka pemerintahan polis memerlukan orang-orang tertentu untuk menjaga keamanan masyarakat (dan mereka bukan tentara); oleh sebab itu dipilih dari antara penduduk. Mereka harus mengikuti kemauan - kehendak (policy, bahkan perintah pemerintah kota) untuk menjaga dan melayani masyarakat. Sehingga jika ada tindak kekerasan - kriminal dan lain sebagainya, masyarakat tak perlu melapor ke istana, tetapi cukup datang ke/pada petugas-petugas keamanan tersebut. Dan jika para petugas tersebut tiba di/pada tkp, masyarakat (akan) berkata, “polis sudah ada atau polis sudah datang,” dan lain sebagainya.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!