Mohon tunggu...
Oox Tetuko
Oox Tetuko Mohon Tunggu... -

The Learning Man

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Generasi Cacat Empiris

24 September 2014   08:35 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:44 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Gontho adalah sebutan bagi kaum yang suka nge-fly dengan ganjanya. Begitulah diksi Wong Solo dalam memberikan kesan impresif bagi kaum yang  kebanyakan di huni oleh anak Raggae, Rastafari, Vespa dan para seniman swasta ini. Memang akibat hormon endorphin dan valium yang di produksi secara berlebihan, menyebabkan sambungan sirkuit otak mereka berjalan randomly alias acak-acakan. Wajar kalau mereka dianggap tak waras, sableng, somplak, pekok, dedel, senewen bin sudrun. Tapi ada juga yang menganggap mereka sebagai Wali Majdub alias Wali gila,, ya …para sarjana gontho IAIN salah satunya.

Sensasi halusinasi, ketenangan dan kenikmatan yang di rasakan pada saat nge-fly menyebabkan ke-anfalan peran logika dan nalar mereka. Kecanduan pada segala sesuatu yang nikmat, lari dari masalah, angan-angan kosong tengah menjadi kawan mesra mereka sehari-hari. Lalu dari kalangan yang sok Agamawan menjustifikasi mereka sebagai generasi cacat religi, dari kalangan sok psikolog menjustikasi mereka kalangan cacat moral, dari kalangan sok motivator menjustifikasi mereka mengidap cacat mental,  tapi lucunya para Gontho ini punya versi justifikasi sendiri, mereka menyebut dirinya sebagai generasi cacat empiris!

Tapi tunggu dulu, tentu masih segar di ingatan kita tentang kisah Mas Ryan yang request untuk di suntik mati karena frustasi menghadapi problematika hidup, bagaimana Mas Mamirussang alumnus IAIN yang gemar bertapa di makam keramat agar mendapat kesaktian, padahal istrinya sedang hamil tua di rumah. Mbak Marmaya mahasiswi UI yang tertangkap kamera telanjang dada di pinggir jalan karena stres, sebelum sempat diamankan satpam setempat. Para Sarjana Pertanian yang lebih memilih kerja di Bank ketimbang turun lapang, dan juga banyaknya angka pengangguran lulusan Sarjana yang terus meningkat sepanjang tahun, seperti di rilis oleh Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi tahun 2013, bahwa terdapat 610 ribu dari total 7,17 juta pengangguran terbuka di Indonesia, adalah "pengangguran intelektual" atau dari kalangan lulusan universitas.

Melihat fakta empirik di atas, apa tah benar generasi cacat empiris hanya di idap oleh para Gontho??? Apa tah benar di tahun 2045 bangsa ini akan mencapai generasi emasnya, seperti yang di gembar-gemborkan oleh M.Nuh? melihat fakta di lapangan sekarang banyak siswi SMP yang sudah mahir menghisap kemaluan temannya??? Melihat banyaknya perdangan “daging mentah” di Jogja dan sekitarnya??? Melihat banyaknya para pengajar yang mencabuli anak didiknya??? Melihat para oknum kepala sekolah yang mengkomersilkan pendidikan??? Bener tah??? Yakin tah???

Singkatnya, generasi cacat empiris ibarat virus, bisa menyerang siapa saja, dimana saja, dan kapan saja, tanpa peduli status sosial, latar pendidikan, dan harkat jabatan. Apalagi sistem pendidikan di sekolahan kita yang hanya mengajarkan teori, konsep, ide, dan gagasan tanpa tau dunia riil yang terjadi di masyarakat. Meminjam istilah Budayawan Agus Sunyoto yang melabeli anak-anak lulusan sekolah sebagai “The Classman”. Menurut Budayawan asal Surabaya itu, para lulusan sekolah ketika lulus akan lebih cenderung untuk mencari ruangan kelas yang lebih besar, seperti di kantor, pabrik, hotel, atau semacamnya, yang pasti di dalam kelas.

“Berbeda dengan anak-anak lulusan pesantren yang siap fight di masyarakat, karena konsep pendidikan di pesantren memang disiapkan untuk menghadapi realita di lapangan. Para Santri tidak segan untuk berjualan dan melakukan pekerjaan-pekerjaan lain di masyarakat dengan berprinsip yang penting halal dan bermanfaat bagi masyarakat. Hal ini tentu berbeda dengan anak-anak lulusan sekolahan yang membawa beban gengsi ketika berhadapan dengan realita di lapangan, masak sarjana jualan Soto? Masak Sarjana ke Sawah? Dan beragam serentetan pertanyaan bergengsi lainnya yang membebani langkah hidup mereka”, terang Budayawan yang akrab di sapa Mas Agus ini.

Namun secara arif bijak, tentu tak elok rasanya kalau harus memperbandingkan kecacatan empiris kaum Gontho dengan kaum berpendidikan. Segmentasinya jelas berbeda, bagaimanapun juga derajat orang yang berilmu lebih tinggi ketimbang yang gak berilmu. Derajat pengangguran tentu lebih rendah ketimbang dengan orang yang bekerja. Lagipula, jangan menganggap remeh para Gontho, potensi otak kanan mereka dalam berkreasi dan berkarya sungguh luar biasa. Solidaritas antar anggota pun juga amat kental dan solid.

Kita tentu berdo’a dan berharap bahwa revolusi mental dan pendidikan yang di gagas oleh pemerintahan baru benar-benar bisa menjadi vaksin penyembuh kecacatan religi, mental, moral, dan empiris yang di derita oleh generasi masa kini. Kita tak berharap lagi pada generasi tua, karena mereka telah terjustifikasi sebagai lost generation. Harapan untuk bangkit ada di kaum muda, mari belajar, bekerja, dan berkarya sesuai dengan bakat, minat dan passion kita. Dan tentu mari jauhi narkoba, marijuana, dan segala jenis zat-zat adiktif berbahaya lainnya untuk keselamatan generasi kita dan anak-anak kita.

Meminjam salam dari para Rasta Salam “Gimbal di Hati”

Solo, 20 September 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun