~~~
Aku terperangah memandang matanya. Ah, jangan lagi... desahku dalam hati.
Namun tampaknya bersikap marah-marah, seakan sudah menjadi trade-mark buat mas Hendri.
"Makanan apa ini, Hen?" tanyanya dengan nada kesal.
"Rasanya sungguh aneh," tandasnya.
"Itu lele mangut," jawabku singkat.
Aku tertunduk sedih. Aku sudah memasak hidangan tersebut seharian penuh.Â
Bahkan waktu belajarku berkurang karena harus memenuhi permintaannya itu.
Sebentar lagi, perang pecah. Seperti biasa.Â
Ah, layaknya hari tak berjalan normal tanpa kemurkaannya.
Terdengar suara kursi berderit, tanda ia bangkit dari kursinya, dan hendak beranjak dari meja makan.
"Sungguh tak mirip sama sekali rasanya denganlele mangut, jauuuhh.. Â Lebih baik aku ke rumah makan langgananku dan membeli seporsi lele mangut yang lezat. Dengan harga yang pas, rasa juga puas," ia menceracau, kurasa.
Ia memandangku dengan angkuh, dan secepat kilat meninggalkanku.
Sebuah peperangan hendaknya jangan dihargai dengan satuan nilai. Nilai seporsi hidangan.
Ah, sudahlah.
Karena alasan-alasan pribadi yang tak kupahami, ia bersikap seperti itu kepadaku.
Mungkin suatu saat tabiatnya bisa berubah, jauh di dalam hatiku aku berharap.
~~~
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H