Habitus Pajak berbasis Kearifan Lokal UMB
Kearifan lokal merupakan nilai-nilai luhur yang tumbuh dan berkembang dalam suatu masyarakat atau komunitas tertentu. Kearifan lokal mencakup pengetahuan, praktik, dan kepercayaan yang diwariskan secara turun-temurun dan menjadi acuan dalam kehidupan sehari-hari. Kearifan lokal bersifat kontekstual, artinya kearifan lokal yang dimiliki oleh suatu masyarakat mungkin berbeda dengan kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat lain. Meskipun demikian, pada umumnya kearifan local mengandung nilai-nilai universal yang dapat diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam dunia kerja.
Dalam konteks Universitas Mercu Buana, kearifan lokal yang dimaksud adalah nilai-nilai luhur yang dianut oleh masyarakat Indonesia, khususnya di lingkungan universitas, yang menjadi pedoman dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab sebagai sivitas akademika. Kearifan lokal tersebut tercermin dalam budaya kerja, cara berkomunikasi, dan pola pikir yang mengedepankan keharmonisan, kebersamaan, dan gotong royong.
Habitus pajak ini mengintegrasikan nilai-nilai kearifan lokal ke dalam praktik dantanggung jawab perpajakan. Berikut beberapa aspek penting dari habitus pajak berbasis kearifan lokal di UMB :
- Menjunjung Integritas: Kearifan lokal Indonesia seperti gotong royong dan musyawarah diterapkan dalam membangun budaya kerja yang berintegritas dan bertanggung jawab dalam perpajakan.
- Memperkuat Kolaborasi: Prinsip saling asah, asih, dan asuh dari budaya Jawa diterapkan dalam praktik perpajakan. Setiap pemangku kepentingan, saling bekerja sama dan mendukung dalam memenuhi kewajiban pajak secara kolektif.
- Menjaga Keselarasan: Konsep tri hita karana dari Bali, yang menekankan keseimbangan antara manusia, alam, dan Tuhan, diwujudkan dalam perspektif pajak. Hal ini mendorong kesadaran bahwa pembayaran pajak yang benar dan tepat waktu merupakan bentuk tanggung jawab kepada negara dan sesama warga.
Apa itu Serat Tripama?
Serat Tripama (tiga suri tauladan) adalah karya KGPAA Mangkunegara IV (1809-1881) di Surakarta, yang ditulis dalam tembang Dhandanggula sebanyak 7 pada (bait), mengisahkan keteladanan Patih Suwanda (Bambang Sumantri), Kumbakarna dan Suryaputra (Adipati Karna). Selain untuk para prajurit, Serat Tripama juga ditujukan untuk para pimpinan dan masyarakat agar dapat menjalankan tugas dengan benar dan bertanggung jawab. Serat ini mengandung ajaran nilai-nilai luhur yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan memahami latar belakang, isi, dan nilai-nilai yang terkandung dalam Serat Tripama, diharapkan warga negara Indonesia dapat menyadari dan melaksanakan kewajiban perpajakan mereka dengan lebih baik.
Serat Tripama (Tiga Keteladanan Satrio) adalah karya sastra Jawa yang ditulis oleh KGPAA Mangkunegara IV. Serat ini hanya memiliki satu pupuh, yaitu Dhandanggula, yang terdiri dari 7 bait. Mari kita bahas ketiga tokoh pewayangan yang menjadi teladan dalam Serat Tripama:
1.Patih Suwanda