[caption caption="Saat ini, mendukung Leicester adalah misi penyelamatan sepak bola | Ilustrasi : footballrants.com"][/caption]Sepak bola menjadi membosankan karena tim besar selalu memenangkan kompetisi. Baru ada lima tim yang menjuarai Premier League sejak liga ini eksis musim 1992-93. Kalau tidak punya tradisi juara yang mengakar, paling-paling tim yang pernah juara tersebut memiliki dana kelewat besar. Gampang tertebak.
Di liga-liga top Eropa lainnya pun hampir sama saja. Dalam lima musim terakhir Serie-A dan Bundesliga, hanya ada dua klub yang merengkuh titel juara. Pada kurun waktu bersamaan, dominasi Barcelona yang diselingi kejayaan singkat Real Madrid dan Atletico Madrid menjadi kisah di La Liga. Ligue 1 agak mendingan, karena Lille (2010-11) dan Montpellier (2011-12) sempat membuat kejutan sebelum PSG melaju kencang sendirian sejak 2012 sampai sekarang. Namun, siapa sih yang merasa kaget betul saat Lille dan Montpellier juara selain pemerhati Ligue 1? Selain mereka, rasanya sedikit sekali yang menaruh peduli.
Dalam era milenium, praktis hanya capaian Yunani pada Piala Eropa 2004 yang membuat publik sepak bola di seantero jagat terkejut bukan main. Mungkin, sepak terjang anak asuh arahan Otto Rehhagel tersebutlah yang terakhir kali mampu membuat kita tersedak. Sebab, terjadinya kejutan luar biasa dalam sepak bola syaratnya mesti begini: tim dihuni para pemain kacangan, pelatihnya juga (kalau bisa) tidak kalah kacangan, belum pernah juara (kalau tidak, ya terakhir kali juara lima puluh tahun yang lalu), bermusim-musim menjadi pesakitan, dan kemampuan finansial tim tersebut mesti kere dibanding tim lainnya. Syarat pamungkas yang mutlak harus ada, yaitu tim itulah yang pada akhirnya keluar menjadi juara.
Narasi soal David yang menjungkalkan Goliath memang lazim ditulis dalam kisah panjang sepak bola. Juga lewat pengandaian berbenang merah sama. Soal semut yang menggelitik dan menjatuhkan gajah, soal roda pedati kehidupan yang berputar, dan lain-lain. Namun sesungguhnya jarang sekali yang dituturkan secara sempurna.
Satu kemenangan tim divisi bawah atas tim pemuncak klasemen divisi tertinggi, hanya jadi angin lalu kalau tidak berakhir dengan trofi juara. Kemenangan pertama tim medioker di kandang lawan yang selalu mendominasi mereka puluhan tahun, tidak ada apa-apanya kalau hanya berupa tiga poin pendongkrak posisi di papan tengah klasemen. Kebanyakan yang kita anggap kejutan nyatanya hanya kesemuan, karena sekadar lewat dan gampang berulang. Padahal, hanya juara saja yang pada akhirnya bakal diingat.
Lalu, Premier League musim 2015-16 datang. Prediksi awal menyebut Chelsea juara lagi. Ada juga yang bilang kalau peluang demikian dimiliki Manchester United, Arsenal, atau Manchester City. Menyebut Liverpool dan Tottenham Hostpurs meraih juara mungkin bisa sedikit dimaklumi, meski tetap memancing orang mengernyitkan dahi. Prediksi di awal musim soal bursa juara buyar dan berantakan sampai sejauh ini.
Anda tentu tahu siapa pelakunya. Ya, Leicester City yang menghabiskan sebagian besar waktu di dasar klasemen pada musim lalu, memang kelewat tidak sopan tahun ini. Bagaimana mungkin The Foxes yang rutin mejeng di divisi bawah kini begitu songong bisa nongkrong di puncak klasemen? Selisih lima poin dari peringkat kedua dengan catatan-catatan yang kelewat di luar nalar pendukung mereka sendiri!
Awal musim Claudio Ranieri menyerecos kalau dia ingin berkarier panjang di Leicester, saat para penjudi mempertaruhkan duit untuk pemecatan si pelatih Italia. Saat dia datang, bahkan masih banyak penggemar yang menatap nanar kepergian Nigel Pearson, juru selamat mereka menghindari kubangan degradasi. Terlebih, Pearson juga yang membuat mereka menjuarai Divisi Championship dan meraih tiket promosi. “Duh, bisa apa sih pelatih yang sering dipecat di banyak klub dan getol mengemas uang segepok kompensasi pemecatannya itu? Paling-paling ucapannya barusan tidak lebih dari basa-basi busuk pelatih yang baru direkrut. Wajahnya pucat tak meyakinkan.”
Tidak perlu rasanya menjelaskan lagi secara lengkap bagaimana musim 2015-16 berjalan bagi Leicester City. Para jurnalis dan pakar sudah bercerita, menganalisis, dan terkagum-kagum, jadi amat menyebalkan seandainya diulang-ulang. Segala sudut pandang dikorek, mulai dari sekadar puja-puji atas sosok Ranieri yang terbukti salah satu pelatih Italia jempolan, kehidupan masa lampau kelewat getir “The Dynamic Duo”, Jamie Vardy dan Riyad Mahrez, kontribusi maksimal pemain-pemain sampah yang kariernya sukses didaur ulang di Leicester, perjalanan berat Leicester dahulu kala, sampai faktor dan para sosok penting di balik sensasi yang mereka buat.
Bahasan Leicester mendadak tidak habis-habis. Semua tentang mereka pokoknya ditulis. Padahal musim lalupun, menyebut nama mereka saja ogah. Jika sampai sekarang ada jurnalis sepak bola belum menulis kegemilangan Leicester City, maka sepatutnya dia malu dan segera mencari pekerjaan lain. Nilai beritanya kelewat tinggi dan seorang jurnalis luput menyajikannya? Ah yang benar saja.
Kemenangan Leicester atas pesaing terkuat dan terdekatnya, Manchester City di Etihad Stadium, seolah menyampaikan sebuah pesan. Bukan soal kelayakan mereka menjadi juara di akhir musim yang tak usah lagi diganggu gugat. Bukan juga tentang kualitas mumpuni pemain dan kematangan taktik, indikasi mereka tim yang layak bersaing di papan atas. Kemenangan tandang itu hanya bentuk penegasan, karena dalam beberapa kesempatan sebelumnya telah mereka tunjukan. Hanya saja, publik belum benar-benar berlapang dada mengakui, masih kadung sinis, dan menyimpan keki. “Ah, nanti juga keok dan terperosok. Sesuai khittahnya.”