Mohon tunggu...
Kopral Jabrik
Kopral Jabrik Mohon Tunggu... Dosen - diisi apa?

Menjadi wartawan sejak pertengahan dekade 1970an. Mulai dari reporter Harian Kedaulatan Rakyat di Yogyakarta, di bawah bimbingan Hadjid Hamzah (almarhum). Sempat aktif di Gelora Mahasiswa (UGM), menulis di Majalah Q (Bandung), Majalah Psikologi Anda (Jakarta), menjadi wartawan Kompas (tahun 1980an, dibimbing oleh AM Dewabrata), redaktur pelaksana Harian Jayakarta, kepala biro Harian Suara Pembaruan (dekade 1990an), produser pemberitaan di SCTV, dosen jurnalistik dan manajemen di Universitas Sahid, Universitas Pelita Harapan dan Universitas Bhayangkara.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kapolri Baru dan Biaya Operasional Polri

23 Februari 2015   23:43 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:38 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Presiden Jokowi mengumumkan pembatalan pelantikan Komjen (Pol) Budi Gunawan sebagai Kapolri Rabu (18/2) dan mengajukan Komjen (Pol) Badrodin Haiti sebagai kandidat Kapolri baru. Bersamaan itu, Presiden juga membebastugaskan Abdul Samad dan Bambang Wijoyanto dari kedudukannya sebagai pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Kepastian sikap Presiden Jokowi tersebut, sudah lama dinanti publik dan berhasil meluruhkan sebagian ketegangan politik di dalam negeri. Namun tidak berarti urusan pencalonan Kapolri selesai dengan pengumuman tersebut. Masih ada serangkaian masalah yang memerlukan perhatian khusus dan bisa mengundang krisis lain.

Banyak pihak menilai, putusan praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Senin (16/2) yang memenangkan Komjen (Pol) Gudi Gunawan adalah salah satu bentuk pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Banyak tanggapan sinis dari khalayak terhadap hasil proses praperadilan tersebut. Tulisan ini tidak akan membahas proses hukum maupun putusan praperadilan tersebut.

Praperadilan

Putusan praperadilan pada dasarnya tidak dapat dimintakan banding. Terkecuali atas putusan mengenai sat atau tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan. Pasal 83 ayat (1) Undang-undang Hukum Acara Pidana berbunyi: “Terhadap putusan praperadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 79, pasal 80 dan pasal 81 tidak dapat di mintakan banding.” Ketentuan pasal 83 ayat (1) ini dimaksudkan untuk mewujudkan “acara cepat” dan mewujudkan kepastian hukum dalam waktu yang relatif singkat, yang memang menjadi prinsip atau dasar praperadilan.

Pasal 83 ayat (2) menegaskan terhadap putusan yang menetapkan “sahnya” penghentian penyidikan atau penuntutan “tidak dapat” diajukan permintaan banding; namun putusan yang menetapkan “tidak sahnya” penghentian penyidikan atau penuntutan “dapat” diajukan banding. Pengadilan Tinggi (PT) yang memeriksa dan memutus perkara banding, menjadi pengadilan tingkat akhir yang memeriksa dan memutus sah atau tidak penghentian penyidikan atau penuntutan yang diputus hakim praperadilan sebelumnya. Jadi, sesuai pasal 83 ayat (2), tidak dikenal upaya kasasi praperadilan ke Mahkamah Agung (MA).

Artinya, putusan praperadilan itu sudah final dan mengikat. Paling tidak, putusan praperadilan itu membuat Komjen (Pol) Budi Gunawan tidak terlalu kehilangan muka. Selama berminggu-minggu, Budi Gunawan menjadi bahan gunjingan di media dan dalam percakapan sehari-hari masyarakat luas. Dan tulisan ini tidak ditujukan buat mengulas aspek hukum praperadilan itu.

Proses Politik

Yang pasti, Presiden Jokowi harus segera melantik Kepala Kepolisian RI. Siapa pun orangnya yang dipilih, tentu prerogatif Presiden. Setelah pelantikan Komjen Budi Gunawan dibatalkan, maka prosesnya jadi lebih panjang. Karena, Presiden harus secara formal membatalkan pencalonan Budi Gunawan dan mengajukan nama Komjen (Pol) Badrodin Haiti sebagai kandidat baru tepat pada saat DPR akan menjalani reses.

DPR RI mulai Rabu 18 Februari 2015 menjalani reses sampai menjelang akhir Maret 2015. Setelah menerima pemberitahuan tentang pembatalan pelantikan dan pengajuan kandidat baru, bukan mustahil DPR akan minta penjelasan pemerintah mengenai pembatalan tersebut, baru kemudian melakukan uji kelayakan dan kepatutan terhadap kandidat yang baru. Sebagaimana layaknya proses politik, semua bisa berlangsung singkat atau bisa juga berlangsung berkepanjangan. Dipengaruhi oleh banyak faktor, yang kadang-kadang tidak terduga.

Begitu masa persidangan DPR RI dimulai kembali akhir Maret 2015, masing-masing komisi di DPR RI akan sibuk melaksanakan rapat kerja dan dengar pendapat dengan masing-masing mitranya. Tentu tiap komisi di DPR RI hanya akan membahas masalah strategis dengan mitranya yang definitif. Termasuk juga dalam pembahasan anggaran belanja. Anggaran belanja kepolisian tidak bisa dibahas dengan Wakil Kepala Kepolisian atau Plt Kapolri. Harus dibahas dengan Kapolri definitif.

Selama belum ada Kapolri definitif, maka penetapan dan pelaksanaan anggaran belanja (terutama biaya operasional) bagi sekitar 450.000 anggota Polri se Indonesia bakal tertunda. Dapat dibayangkan kerawanan yang bakal timbul akibat keterlambatan penetapan dan pelaksanaan anggaran tersebut.

Stimulasi Krisis

Sebelum pengumuman kandidat baru Kapolri tersebut, sangat banyak masyarakat yang menilai Presiden Joko Widodo sebagai sosok yang lamban, peragu, dan terlalu lama menimbang-nimbang dalam pengambilan keputusan. Persoalan Polri-KPK hanya salah satu contoh kelambanan dan keraguan presiden, yang mendorong munculnya krisis lain.

Hampir semua pendukung maupun pihak yang dimintai pendapat oleh Presiden, termasuk tim independen yang terdiri para tokoh masyarakat, sibuk menyarankan agar Komjen Budi Gunawan tidak dilantik sebagai Kapolri. Padahal pencalonannya diusulkan oleh presiden dan sudah diproses serta disetujui oleh kalangan DPR.

Sampai pertengahan Februari 2015, bermunculan berbagai spekulasi di kalangan masyarakat. Ada yang menduga bahwa ide pencalonan Budi Gunawan datang dari pihak pimpinan PDIP. Dugaan itu menguat ketika Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto membongkar betapa Abdul Samad dari KPK pernah melakukan transaksi politik dengan petinggi partainya. Sementara itu, berbagai sumber yang sangat dekat dengan kalangan pimpinan PDIP menegaskan, inisiatif mengusulkan Budi Gunawan sebagai Kapolri bukan datang dari kalangan partai berlambang banteng tersebut. Melainkan dari orang-orang dekat Jokowi, yang semasa berkampanye memang pernah banyak dibantu oleh Budi Gunawan.

Sayangnya, para petinggi PDIP sampai saat ini tetap berdiam diri dan tidak pernah memberi penjelasan. Akibatnya, tudingan makin merajalela dan ada yang mulai menuduh bahwa PDIP punya kepentingan melemahkan posisi KPK. Padahal, justru pada zaman Megawati (Ketua Umum PDIP) berjabatan presiden, lembaga KPK dibentuk.

Perlu Terobosan

Banyak pelajaran yang bisa dipetik dari peristiwa perseteruan Polri-KPK. Yang pertama, betapa pun jika citra KPK masih dinilai masyarakat lebih baik dibandingkan dengan lembaga penegak hukum lainnya. Karenanya, cukup banyak masyarakat yang cenderung membela KPK dalam perseteruan KPK-Polri.

Kedua, kita perlu memperluas cakrawala dalam menghadapi setiap masalah. Banyak orang hanya melihat gesekan antara KPK-Polri hanya sekadar kekisruhan antara dua lembaga penegak hukum. Ada juga yang keliru menebaknya sebagai salah satu contoh tidak harmonisnya hubungan antara Presiden dengan partai pengusungnya. Padahal, pelantikan Kapolri definitif harus segera dilakukan karena menyangkut masalah anggaran operasional Polri yang memengaruhi kinerja sekitar 450.000 anggota Polri di seluruh Indonesia. Tidak adanya Pengguna Anggaran (Kapolri yang definitif), mengakibatkan hanya anggaran gaji dan tunjangan kinerja yang dapat dicairkan bagi Kepolisian RI. Dana lainnya, termasuk dana operasional, harus menunggu dilantiknya Kapolri. Kelangkaan dana operasional akan memengaruhi layanan kepolisian dalam bidang keamanan dan ketertiban bagi masyarakat.

Ketiga, sudah saatnya dilakukan pembenahan institusional di lingkungan penegakan hukum serta lembaga-lembaga lain penyelenggara kekuasaan negara yang ada di Indonesia ini. Perlu penegasan ulang fungsi dan kewenangan masing-masing lembaga, serta keserasian hubungan kerja antarlembaga, terutama yang fungsi dan kewenangannya kebetulan bersinggungan. Di bidang penegakan hukum, ada KPK, polisi dan kejaksaan yang punya kewenangan dalam penyidikan. Dalam hal pembangunan desa, ada tumpang tindih antara Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi dengan Kementerian Dalam Negeri. Begitu juga dalam hal pendidikan.

Masih banyak catatan mengenai pelajaran yang bisa kita daur dari masalah Polri-KPK dan beberapa perkembangan terakhir ini. Langkah yang paling utama yang perlu ditempuh Presiden guna menghindari situasi krisis lanjutan adalah segera melantik Kapolri baru, setelah usulnya disetujui DPR RI.

Prosesnya cukup panjang dan harus diulangi dari awal lagi, karena DPR baru memulai kembali persidangannya menjelang akhir Maret 2015. Kemitraan antara DPR RI dengan Polri memerlukan kepastian Kapolri yang baru. Undang-undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, menegaskan bahwa yang dapat menjadi pengguna anggaran adalah menteri atau pimpinan lembaga negara, (pasal 4 ayat 1) dan gubernur, bupati atau walikota selaku Kepala Pemerintah Daerah (pasal 5 ayat 1).

Selaku pengguna anggaran, menteri atau pimpinan lembaga (termasuk Kapolri) berwenang menunjuk kepala satuan kerja yang melaksanakan kegiatan kementerian atau lembaga maupun pejabat lain sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA). Tetapi jika Pengguna Anggaran belum ada, maka pencairan dan pengelolaan anggaran tidak semudah yang diperkirakan. Ketentuan itu diatur juga dalam Peraturan Pemerintah No 45 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Kelangkaan anggaran operasional bagi 450.000 anggota Polri, mengundang risiko yang cukup tinggi. Kandidat Kapolri baru perlu segera diproses dan dilantik, guna menghindari keadaan yang lebih buruk. Sementara menunggu pelantikan Kapolri, diperlukan langkah terobosan yang memungkinkan keamanan dan ketertiban tetap terjamin. *****

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun