Mohon tunggu...
Kopral Jabrik
Kopral Jabrik Mohon Tunggu... Dosen - diisi apa?

Menjadi wartawan sejak pertengahan dekade 1970an. Mulai dari reporter Harian Kedaulatan Rakyat di Yogyakarta, di bawah bimbingan Hadjid Hamzah (almarhum). Sempat aktif di Gelora Mahasiswa (UGM), menulis di Majalah Q (Bandung), Majalah Psikologi Anda (Jakarta), menjadi wartawan Kompas (tahun 1980an, dibimbing oleh AM Dewabrata), redaktur pelaksana Harian Jayakarta, kepala biro Harian Suara Pembaruan (dekade 1990an), produser pemberitaan di SCTV, dosen jurnalistik dan manajemen di Universitas Sahid, Universitas Pelita Harapan dan Universitas Bhayangkara.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Nak, Hari Ini Istimewa!

20 Oktober 2019   16:52 Diperbarui: 20 Oktober 2019   17:04 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Biasanya, sejak September hujan sudah mulai membasahi. Di masa kecilku, Juli sampai September adalah saat bermain layang-layang. Di masa mudaku, September sering menjadi pembatas bagi kegiatan penyelaman, karena mulai awal bulan biasanya angin kencang dan arus menderas.

Kali ini aku bukan mau bercerita tentang musim, arus laut, arah angin, layang-layang atau penyelaman. Aku mau bercerita tentang hari ini, suatu hari tertentu dalam medio Okttober pada tahun 2019. Hari ini memang istimewa sebagai pelantikan presiden. Tapi bukan itu! Hari ini betul-betul menjadi sangat khusus buatku, apalagi pada usia mendekati 70 tahun seperti sekarang ini. Salah satu hari yang sangat istimewa, dari sekitar 24.000 hari yang pernah kulewati.

Lho, kenapa istimewa? Pada hari ini, salah seorang anakku menghabiskan waktunya belasan jam buat mencapai kotaku dari benua lain tempat ia tinggal. Anak sulungku, kakaknya, memang tinggal di kota yang sama denganku. Tapi ia sangat sibuk, dengan keluarga dan anaknya maupun dengan pekerjaan dan liburan-liburannya. Anak bungsuku, adiknya, dibawa kabur oleh ibunya sejak usianya tiga tahun dan sejak itu tidak ada kabarnya sama sekali. Aku yakin, si bungsu juga ada di kota yang sama dengan kota tempat tinggalku.

Si sulung yang sedang berlibur di Bogor memberitahuku, adiknya hari ini tiba. Dan ia titip salam buat adiknya. Si bungsu entah sedang di mana dan sedang apa, tapi kuharapkan bisa bertemu dengan kakaknya. Aku juga tidak tahu anakku yang datang dari jauh akan tinggal di mana selama berkunjung di kota ini. Dia tidak bercerita secara rinci.  Ah, sudahlah. Dia bilang usianya sudah 25 tahun dan dia sudah 25 tahun menuruti tuntunanku, sehingga dia berharap aku boleh memberinya kebebasan.

Kekangan

Waduuuh, sudah 25 tahun dia menuruti kehendakku? Lama juga yaaaa, berarti sudah sekitar 9.400 hari anakku mengekang dirinya guna mematuhi keinginanku. Mungkin semestinya aku membiarkannya bebas merokok, tanpa harus memberitahu bahwa rokok bisa membahayakan kesehatannya. Mungkin aku seharusnya tidak mengingatkan agar dia rajin-rajin ke gereja. Atau barangkali juga, ajakanku buat berdoa, merupakan salah satu beban yang memberatkan hidupnya.

Banyak sekali deretan pertanyaan, yang membawaku merenung ke masa silam dan membawaku meluncur ke masa depan. Di masa silam, sewaktu hidup berdua dengan anakku tersebut, aku berusaha tidak beristri lagi. Aku tidak ingin dia punya ibu tiri. Biarlah dia tumbuh bersamaku saja, yang menjadi ayah sekaligus ibunya.

Ketika dia masih kanak-kanak, aku pernah mengajaknya ke ruang kuliah, tempatku mengajar, karena kebetulan tidak ada orang lain yang menemaninya di rumah. Aku juga pernah mengajaknya ke tengah hutan di pedalaman Kalimantan, tempatku mengerjakan proyek, karena tidak tega meninggalkannya sendirian berhari-hari di rumah. Aku pernah juga mengajaknya ikut ke rumah dosen pembimbingku, karena aku harus menyelesaikan disertasi dan tidak ada yang menemaninya di rumah. Bahkan ketika ia dirawat di rumah sakit akibat demam berdarah, berhari-hari aku mengerjakan tugas-tugas disertasiku di samping ranjangnya.

Bersyukur

Mungkin ketika itu dia masih terlalu kecil buat menyadari bahwa papanya harus bekerja ekstra guna mengais rezeki sambil bersekolah dan merawat serta membesarkan dia. Atau barangkali ia sedemikian bijak, sehingga tidak ingin menunjukkan keprihatinan agar papanya tetap kuat dan tangguh menghadapi kehidupan. Apa pun juga kejadiannya, yang jelas rintangan demi rintangan kami atasi sampai akhirnya dia berhasil menyelesaikan sekolahnya di benua seberang. Tuhan yang Mahabaik selalu memberi celah, setiap kali hambatan menghimpit kami. Terutama pada saat kami bertahun-tahun berjauhan.

Akhir tahun silam anakku lulus. Semua aku syukuri, karena tanpa tuntunan, perlindungan dan bantuan-Nya, tidak bisa kubayangkan semua itu bisa terlaksana. Tanpa kehadiran-Nya, entah sudah bagaimana hidupku ini. Karenanya, aku sering minta agar anakku memanjatkan doa syukur. Aku juga menyampaikan harapanku, agar dia rajin-rajin ke gereja. Aku sering mengingatkan agar dia menjaga kesehatannya. Barangkali juga, semua permintaanku itu membuatnya bosan. Atau membebaninya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun