Mohon tunggu...
Ony Edyawaty
Ony Edyawaty Mohon Tunggu... Guru - pembaca apa saja

hanya seorang yang telah pergi jauh dari rumah

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Esensi Kepemimpinan yang Sempat Saya Lupakan

26 Mei 2024   22:13 Diperbarui: 26 Mei 2024   22:55 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

    

Ceritanya saat itu saya diundang menghadiri Lokakarya Kepemimpinan Sekolah.  Materinya betul-betul padat dan tipe favorit saya.  Rasanya sejak muda memang langsung bersemangat kalau bicara soal yang satu ini.  Tapi sepertinya sekarang sudah lain.  Badai baru saja melanda dan kesadaran baru telah hadir yaitu perasaan telah masuk usia tua.  

Tua sepertinya identik dengan lupa.  Mau dipoles dan disembunyikan seperti apapun, identifikasi tua adalah PDI (Penurunan Daya Ingat).  Biar kata menjadi tua adalah pasti, namun menjadi dewasa adalah pilihan.  Keduanya, yaitu menjadi tua atau menjadi dewasa, tetap akan bertemu lupa.  

Lokakarya Kepemimpinan benar-benar mendapuk saya untuk berperan sebagai pemrasaran tua yang mencoba mengeluarkan sisa-sisa semangat kepemimpinan.  Saya katakan bahwa kepemimpinan adalah kata sifat, sedangkan pemimpin adalah kata benda.  Artinya keduanya tidak sama.  Kepemimpinan sebagai suatu sifat harus dimiliki oleh setiap orang, sedangkan pemimpin adalah posisi struktural yang belum tentu memiliki sifat-sifat kepemimpinan.  Kok saya bisa bilang begitu ya.  Saya hanya ingat kalau menjadi enterpreneur tidak dialami oleh semua orang, namun enterpreneurship semestinya dimiliki oleh setiap orang.  Makanya saya mencoba beranalogi.  Tidak semua orang adalah leader, namun leadership harus dimiliki oleh setiap orang yang ingin sukses (disamping tentu saja dealership).  

Sebenarnya setelah pernyataan itu, saya pernah mengingat banyak esensi kepemimpinan.  Ingatan saya bersusah payah memanggil kalimat-kalimat persuasi dan provokasi bertema kepemimpinan, namun kok malah lupa semua.  Sepertinya ada angin sepoi-sepoi yang bertiup dalam kepala saya, sambil melintas sebuah suara : "Sudahlah, mau ngomong apa lagi sih ?  Lemesin aja, damai.  Kepemimpinan ya ini, ada di sini sekarang dalam posisi ini, selamat sehat dan lengkap bahagia."  Seketika saya sadar, beneran saya sudah tua.  Sudah tidak lagi ngotot dan provokatif.  

Sesampainya di rumah, saya malah mencoba mengingat-ingat, apa saja esensi konten kepemimpinan yang sudah saya lupakan siang tadi.  Saya sebenarnya mau mengatakan esensi kepemimpinan favorit saya yaitu : "ikan busuk dari kepalanya".  Artinya : organisasi yang buruk adalah akibat kepemimpinan yang buruk pula.  Paling enak memang kalau menyalahkan pihak lain.  Mau ini, mau itu, ah ngapain, lha wong pimpinannya saja tidak becus memimpin.  

Saya juga ingin mengatakan sebenarnya kepemimpinan itu adalah masalah karakter saja.  Sekelompok domba yang dipimpin oleh seekor singa, akan eksplosif dan memenangkan kompetisi dalam skala yang luas.  Sebaliknya, sekelompok singa yang dipimpin oleh seekor domba, akan menghasilkan kekalahan dan efek melempem berjamaah.  Kepemimpinannya akan lemah, cedera dan akhirnya punah dimangsa domba-domba.  Eh, kok begitu ? Iya maksudnya, seorang pemimpin itu harus berani.  Pemimpin bukan dia yang terpintar namun dia yang paling berani dalam kelompok itu.

Saya hanya ingat samar-samar lagi, bahwa kepemimpinan itu seperti arus air.  Dari atas hanya bergerak sedikit, namun efeknya ke bawah tidak main-main.  Maksudnya kalau sedang memimpin, hati-hati dengan ucapan, tindakan dan gestur yang berseberangan.  Bisa saja kita hanya menyeringai sebal pada pihak X, kemudian mengucapkan : "lihat saja, hati-hati.  Tunggu pembalasan saya." Kemudian efeknya malah bisa menimbulkan tsunami kebencian dan perang Bharatayudha.  Seperti itulah kira-kira.  

Jadi sebenarnya kepemimpinan adalah intuisi.  Meski terdapat karakter-karakter spesifik, namun kepemimpinan terbentuk oleh tekanan-tekanan yang berat dan segala hal yang membuat tidak nyaman.  Prekursor kepemimpinan adalah hal-hal tidak enak yang kita temukan sepanjang jalan.  Tanpa itu semua, seorang pemimpin tidak akan lahir.  Harus sampai tidak enak, perih, susah, terdesak, serba tidak nyaman, barulah seseorang akan menjadi pemimpin secara alamiah.  

Jadi pemimpin itu dilahirkan atau dibentuk ? Kalau menurut saya, Pemimpin itu dibentuk, bukan dilahirkan.  Ya, berarti, setiap diri sebenarnya adalah pemimpin.  Tinggal mau atau tidak.  Demikian, terima kasih.  Karena ingatnya di rumah, ya sudah, saya tulis di Kompasiana saja, ngga jadi saya kemukakan di Lokakarya.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun