Mohon tunggu...
Mr. X
Mr. X Mohon Tunggu... -

I am a mysterious guy

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Berani Menulis, Harus Siap Pula di Kritik

21 Maret 2016   14:16 Diperbarui: 21 Maret 2016   14:40 6
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

In general, kritiks have been universally accepted in National Circuit (Tournament of Champions) debate and most inter-collegiate policy debate, and less accepted in particular regions of National Forensic League debate, especially by new, or "lay" judges. It is unclear whether this is due to a problem intrinsic to the structure of the kritik, or simply poor explanation. Often, philosophical issues are relatively complex and often the small amount of time a negative team gets to speak during the duration of a round is not enough time to fully explain the complexities of the argument.

Ketika pertama kali membaca dan ingin memberikan komentar di kompasiana, saya diminta untuk login dan men-daftar terlebih dahulu sebagai salah satu syarat keikut sertaan berpartisipasi tanpa diharuskan menulis suatu artikel apapun.

Awalnya hanya sekedar iseng dan mengisi kekosongan waktu sambil membaca beberapa tulisan yang cukup menarik dan enak dibaca yang kadang-kadang dibantu dengan visualisasi gambar yang mudah dimengerti. Apalagi banyak artikel yang menggambarkan seluruh pemahaman dan fenomena secara komprehensif, dilanjutkan dengan  pembangunan mentalitas hingga ketangguhan sosial yang dirangkum secara terintegritas dan sinergis. Hanya sayangnya, tidak semua penulis siap menerima kritikan bila menyangkut berbagai perpektif kehidupan yang diasumsikan bertentangan dengan pola pikir si penulis dan merasa dipojokan oleh si pemberi koment yang sebenarnya merupakan PSYCHOLOGICAL THERAPHY.

Bagi kalangan guru dan pendidik, pemerhati atau para ahli dalam bidang jurnalistik, hal ini dapat dijadikan bahan kajian dan INTROPEKSI DIRI sekaligus penawar hati bagi yang emosional guna melicinkan jalan menuju Self-reinvention (Red:penemuan kembali jati diri) bila menghadapi situasi yang kritis. Masukan yang sistematik dan terarah dalam mengembangkan potensi dan bakat-bakat individualnya dapat juga dipadukan dengan modul-modul pelatihan "Quantum Learning" Mengenai Quantum Learning yang pada gilirannya dapat menjadikan seseorang yang tangguh dan low profile.

Setelah melakukan serangkaian penelitian dalam pencarian jati diri, lewat pengalaman sehari-hari dan bantuan penulis di kompasiana dengan tidak lupa menambah khasanah ilmu dengan memadukan sejumlah buku-buku ilmiah modern sebagai referensi, maka dapat disimpulkan bahwa "Kecerdasan emosi" memiliki peran yang jauh lebih penting dibandingkan dengan "Kecerdasan otak" (IQ).Kecerdasan otak barulah merupakan syarat minimal untuk meraih keberhasilan, kecerdasan emosilah yang sesungguhnya menghantarkan seseorang menuju puncak prestasi.

Saya meyadari bahwa selama penelitian emosi , saya terpaksa  memberikan komentar yang dapat membuat geram si penulis atau pembaca lainnya. Untuk itu, dengan penuh kesadaran diri dan kerendahan hati maafkan si On Tohot.

Note:

Berikut ini 3 nama rekan kompasianer yang menurut penilaian saya memperoleh Kecerdasan Emosi cukup tinggi; a.l. 1. sdr. Ibay Benz Eduard, 2 sdri. Anna Della dan 3. sdri. Erlinda/Azalleaislin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun