Mohon tunggu...
Onrizal
Onrizal Mohon Tunggu... -

Forest ecology. Untuk bumi lebih baik (onrizal03[at]yahoo.com; onrizal.wordpress.com)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

DAS, Banjir, dan Kekeringan

9 Mei 2012   13:10 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:30 984
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[diterbitkan pada harian Waspada, kolom opini, Jumat, 4 Mei 2012] Banjir dan kekeringan silih berganti menghampiri kita setiap tahun. Saat musim hujan, hampir selalu disertai dengan banjir atau malah banjir bandang. Seperti tahun lalu, dua banjir besar melanda Kota Medan, tepatnya pada tanggal 6 Januari dan 1 April 2011. Korban harta, nyawa, rusaknya infrastruktur, terganggunya aktivitas sosial dan kerugian ekonomi merupakan keniscayaan yang harus ditanggung karena bencana banjir itu. Lalu, ketika kemarau tiba, air dari PDAM seret, macet dan mampet karena kesulitan air sumber bahan baku, jika pun ada, airnya sudah tercemar, sehingga perlu biaya lebih mahal dan waktu lebih lama untuk mengolahnya. Areal persawahanpun kering kerontang karena bendunganpun air menurun drastis akibat debit sungai yang jauh berkurang. Fenomena banjir atau banjir bandang dan kekeringan yang menerpa Kota Medan ini menunjukkan daerah aliran sungai (DAS) yang mencakup Kota Medan dalam kondisi rusak atau kritis. Meluruskan pemahaman tentang DAS Seorang prosesor di salah satu universitas ternama di Sumatera Utara dalam satu seminar bertanya: “apakah itu DAS?” Pada slide sang profesor terpampang gambar sungai. Melihat para peserta hening, lalu, sang profesor itu berkata “hampir seluruh mahasiswa pascasarjana di kelas saya yang diantaranya banyak juga para pejabat daerah yang sedang studi lanjut itu menjawab DAS itu adalah sungai, seperti terpampang dalam slide itu.” Jelas jawaban itu, salah kata sang profesor. Seorang pejabat kementerian yang menceritakan pengalamannya disorot tajam oleh anggota DPR yang terhormat di suatu rapat “mengapa usulan rehabilitasi lahannya ini di DAS lagi? Bukankah tahun lalu sudah di DAS, apakah tidak ada lahan lagi, selain DAS?” Nah ini, contoh anggota DPR yang merasa benar, namun lupa memahami undang-undang (UU) yang dibuat DPR dan pemerintah. Jika ditanyakan balik “kalau bukan di DAS, lalu rehabilitasi lahan dimana lagi, bapak/ibu anggota dewan yang terhormat?” Nah, loh. Pada media massa juga sering melakukan kesalahan serupa, seperti “jangan membangun permukiman di DAS, nanti kebanjiran.” Atau ada kalimat lain “waspada banjir di musim penghujan, terutama bagi penduduk yang bermukim di sepanjang DAS.” Kalau bukan di DAS, lalu mau mendirikan permukiman dimana lagi? Jadi, banyak yang mengira DAS itu adalah sungai atau daerah bantaran sungai, seperti dalam beberapa dialog dan publikasi contoh di atas. Kesalahan pemahaman terkait DAS itu hampir merata di sebagian besar lapisan kelompok sosial. Akibatnya banyak waktu dan energi terbuang percuma. Demikian pula, kesalahan pemahaman ini juga berdampak pada kesalahan dalam merencanakan program solusi terhadap permasalahan sebenarnya yang melekat pada DAS yaitu: banjir dan kekeringan. Lalu apa sesungguhnya DAS itu? Kunci pertama untuk memahami DAS dengan benar adalah bahwa seluruh wilayah daratan termasuk sungai di dalamnya terbagi habis dalam unit-unit DAS. Hal ini secara jelas tertulis dalam UU No 7/2004 Pasal 1 yang menyatakan DAS adalah suatu wilayah  daratan  yang merupakan satu kesatuan ekosistem dengan  sungai dan anak-anak sungainya  yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah pengairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. Jadi, DAS itu tidak sama dengan sungai, atau bukan hanya sungai saja atau bukan pula hanya daerah bantaran atau kiri kanan sungai. Sungai, anak sungai, dan bantaran sungai itu hanya bagian dari suatu DAS. Sehingga, satu unit DAS itu terdiri dari (1) satu sungai utama yang mengalirkan airnya langsung ke laut, serta (2) anak-anak sungai yang airnya mengalir ke sungai utama tadi, dan (3) daerah daratan yang apabila hujan, air permukaan dan butiran erosi tanah atau benda apa saja yang dibawanya akan mengalir ke anak-anak sungai atau langsung ke sungai utama tersebut, sehingga mempengaruhi kuantitas dan kualitas air sungai tersebut. Setiap unit DAS diberi nama dengan nama sungai yang bermuara ke laut langsung. Misalnya DAS Deli, karena sungai Deli langsung bermuara ke laut. Bagaimana dengan daerah-daerah yang mengalirkan airnya ke sungai Babura? Daerah-daerah tersebut beserta sungai Baburanya merupakan bagian dari DAS Deli, yang diberi nama dengan Sub-DAS Babura. Atau dengan kata lain, sungai Babura itu merupakan anak dari sungai Deli. Mengapa? Karena air dari sungai Babura tidak bermuara langsung ke laut, namun bermuara ke sungai Deli. Indikator kesehatan DAS Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa suatu DAS yang baik (dengan hutan yang masih baik dan dengan luasan kawasan berhutan yang cukup) akan mampu penampung dan penyimpan curah hujan menjadi air tanah. Hanya sekitar 0,1 – 10% saja dari curah hujan yang akan langsung mengalir ke sungai atau menjadi aliran permukaan (run off), sedangkan 90 – 99,9% dari curah hujan yang terjadi pada DAS yang baik akan diresapkan ke dalam tanah. Sehingga peluang terjadinya banjir pada DAS yang masih baik akan sangat-sangat kecil dibandingkan DAS yang rusak. Demikian pula sebaliknya, bila DAS rusak maka kemampuannya dalam menampung dan menyimpan air hujan turun drastis. Ketika hujan terjadi, hampir seluruh air hujan akan langsung menjadi aliran permukaan, mengalir ke sungai dalam waktu bersamaan. Meluap, dan jadilah air bah! Ini bukan bencana alam, tapi adalah bencana ekologis! Penutupan hutan memegang peranan penting dalam pengaturan sistem hirologi, terutama “efek spons” yang dapat menyekap air hujan dan mangatur pengalirannya sehingga mengurangi kecenderungan banjir dan menjaga aliran air di musim kemarau.  Fungsi tersebut akan hilang jika hutan di daerah DAS yang lebih tinggi hilang atau rusak. Di seluruh wilayah tropika, 90 % petani di dataran rendah tergantung pada kegiatan 10 % masyarakat yang tinggal di daerah hulu sungai.  Salah satu contoh penting di dunia adalah DAS Sungai Gangga, dimana 40 juta penduduk yang tinggal di pegunungan Himalaya mempengaruhi 500 juta penduduk di dataran rendah (MacKinnon et al,  1990). Suatu DAS yang baik dengan tutupan vegetasi yang cukup dan bertingkat akan mencegah erosi tanah. Mengapa demikian? Erosi tanah secara alami terjadi bila tanahnya terbuka, sehingga ketika hujan, butiran-butiran air hujan akan memecahkan butiran tanah dan kemudian terbawa oleh aliran air hujan tersebut. Kehadiran hutan dan tutupan vegetasi lainnya yang tersusun secara bertingkat akan mengurangi energi kinetik butiran hujan sehingga butiran tanah tidak jadi pecah dan akhirnya erosi tanah tidak terjadi atau kecil sekali. Pada DAS yang rusak, erosi tanah inilah yang menyebabkan sungai-sungai menjadi dangkal. Semakin terbuka lahannya dan tidak ada jalur hijau atau sabuk pengaman berupa tutupan vegetasi yang cukup di daerah bantaran sungai, maka erosi tanah akan langsung masuk sungai tanpa halangan dan pendangkalan sungai akan semakin cepat terjadi. Pada akhirnya, apabila ini terus berlangsung, hal ini akan menjadi salah satu faktor pemicu banjir pada musim penghujan, apalagi disertai konversi daerah resapan air menjadi daerah terbangun: permukiman, industri dan sejenisnya. Oleh karena itu, praktek pengelolaan lahan, sebagai akibat kebijakan pengelolaan lahan sangat berperan penting terjadi atau tidaknya pendangkalan sungai dan banjir. Inilah salah satu alasan kenapa dalam UU No 26 tahun 2007 tentang Tata Ruang mengamanatkan minimal 30% dari luas daerah aliran sungai (DAS) berupa kawasan hutan dalam rangka pelestarian lingkungan hidup (pasal 17 ayat 5). Namun ironinya di bagian utara Sumatera Utara, hanya 4 dari 20 unit DAS yang luas tutupan hutannya yang memenuhi syarat UU No 26 tahun 2007 itu. Ini adalah buah kebijakan pengelolaan lahan yang hanya mencari keuntungan ekonomi atau PAD semata tanpa mempertimbangkan faktor resiko. Misalnya, lahan basah dikasih izin untuk permukiman. Sehingga wajar, banjir dan kekeringan silih berganti datang setiap tahunnya. Salah satu indikator utama DAS yang sehat adalah dari ketersediaan air, baik jumlah, distribusi (menurut waktu dan ruang) maupun kualitas airnya. Pada DAS yang sehat, air akan tersedia sepanjang tahun, demikian pula debit air sungai akan mengalir sepanjang tahun tanpa perbedaan yang mencolok antara musim penghujan dan kemarau. Dengan demikian, banjir tidak hadir pada musim penghujan, dan sebaliknya kekeringan tidak menerpa di masa kemarau. Kondisi ini juga menunjukan kinerja pengelolaan DAS berjalan secara baik. Bagaimana di wilayah anda, pembaca?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun