Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan salah satu sub jenis gajah Asia yang hanya dijumpai di Pulau Sumatera. Hampir seluruh Pulau Sumatera mulai dari Lampung sampai Aceh merupakan habitat gajah. Gajah Sumatera dapat ditemukan di berbagai tipe ekosistem. Mulai dari pantai sampai ketinggian di atas 1.750 meter seperti di Gunung Kerinci. Habitat gajah dapat berupa hutan primer, hutan sekunder bahkan di daerah pertanian. Habitat yang paling disenangi adalah hutan dataran rendah [[i]]. Di Sumatera Utara, gajah dapat dijumpai di hutan tropis yang termasuk wilayah Kabupaten Langkat dan Kabupaten Karo.
Gajah Sumatera saat ini berada dalam kategori terancam karena terjadi perubahan di kawasan hutan yang merupakan daerah jelajah (home range) gajah tersebut. Gajah Sumatera biasanya berpindah tempat dengan menggunakan kawasan hutan yang sama dalam kurun waktu tertentu. Dalam perkembangannya daerah hutan perpindahan gajah Sumatera tersebut banyak yang berubah menjadi lahan yang digunajan oleh manusia, seperti perumahan dan lahan pertanian. Hal ini kemudian memicu terjadi konflik ketika gajah kembali ke home range dan bertemu dengan manusia[[ii]].
Dalam adat Aceh, terdapat pantangan saat membuka lahan di wilayah seuneubôk[1]. Pantangan itu seperti peudong jambô. Jambô atau gubuk tempat persinggahan melepas lelah sudah tentu ada di setiap lahan. Dalam adat meublang, jambô tidak boleh didirikan di tempat lintasan binatang buas atau tempat-tempat yang diyakini ada makhluk halus penghuni rimba. Bahan yang digunakan untuk penyangga gubuk juga tidak boleh menggunakan kayu bekas lilitan akar (uroet), karena ditakutkan akan mengundang ular masuk ke jambô tersebut [[iii]]. Khazanah ini, sesungguhnya telah mengantisipasi agar tidak terjadi konflik antara manusia dan satwa, termasuk gajah Sumatera yang hidupnya selalu berpindah-pindah.
Masyarakat di Tangkahan, sebuah kawasan yang berbatasan dengan TNGL kini bekerjasama dengan LSM telah mengembangkan kegiatan wisata alam dengan memanfaatkan jasa gajah. Saat ini, gajah-gajah yang berada di kawasan wisata tangkahan sudah dimanfaatkan untuk patroli safari hutan. Bahkan gajah tersebut saat ini sudah menjadi sebuah ikon wisata safari gajah yang membawa wisatawan berkeliling hutan. Selanjutnya Darwin, Direktur Lembaga Pariwisata Tangkahan kepada antarasumut.com [[iv]] mengatakan, para wisatawan yang berkunjung dapat menikmati perjalanan keliling hutan dengan menunggangi gajah patroli yang telah dilatih. Gajah-gajah tersebut bertugas untuk berkeliling menjaga hutan dari berbagai ancaman praktek ilegal logging yang dilakukan pihak pembalak.
Saat ini objek wisata Tangkahan tergolong satu-satunya di Asia yang menyediakan layanan berkeliling hutan dengan gajah. Para wisatawan dapat menikmati perjalanan tersebut hanya dengan biaya Rp 250.000 per jam. Objek wisata tersebut sangat potensial karena memiliki hutan yang masih perawan, namun yang sangat disayangkan adalah infrastruktur jalan menuju lokasi tersebut yang masih buruk [[v]]. Penggunaan gajah Sumatera untuk perlindungan hutan dan kegiatan ekowisata, menurut masyarakat di Tangkahan, telah menekan pembalakan liar pada hutan di Tangkahan dan sekitarnya serta pada kesempatan yang sama juga menjadi sumber ekonomi bagi masyarakat lokal karena mereka terlibat secara langsung dalam pengelolaan kawasan ekowisata yang dikoordinir melalui Lembaga Pariwisata Tangkahan [ii].
Wisata alam (ekowisata) Tangkahan merupakan sebuah fenomena dalam pengelolaan taman nasional di Indonesia. Mengapa? Alasan utamanya adalah karena berkembang atas inisiatif lokal, kemudian didukung secara konsisten oleh manajemen taman nasional dan mitra Indecon (Indonesian Ecotourism Network) [[vi]]. Pada awalnya, pengelolaan taman nasional di Indonesia yang dimulai sejak tahun 1980-an, namun masih mengadopsi pola pengelolaan dari Yellowstone, yang mengedepankan pendekatan pengamanan (security approach) dengan mengutamakan kepentingan konservasi di atas segalanya [[vii]]. Taman Nasional Yellowstone merupakan taman nasional pertama di dunia yang didirikan pada 1 Maret 1872 yang dijadikan sebagai tonggak sejarah konservasi moderen. Pada awal pembangunnya, taman nasional hanya ditujukan untuk perlindungan spesies tertentu sebagai prioritas utama sehingga "menyingkirkan" kepentingan kehidupan manusia [[viii]]. Namun, berbagai publikasi terkini telah mengungkap konservasi yang adil telah lahir dan diperkenalkan oleh Rasulullah saw sejak 14 abad lalu, misalnya melalui sistem hima. Praktek ini merupakan cara konservasi tertua yang dijumpai di Semenanjung Arabia, bahkan mungkin tertua di dunia [[ix]] dan diakui FAO sebagai contoh pengelolaan kawasan lindung paling tua bertahan di dunia [ix, [x]].
Mantan Kepala TNGL pernah menulis khusus tentang ekowisata Tangkahan dalam memperingati seperempat abad TNGL, yakni dengan ungkapan:
Kini, hutan TNGL dekat tangkahan menjadi salah satu kawasan aman dari gangguan. Balok-balok kayu berlumut di dalam hutan menunjukkan telah terjadi illegal logging beberapa tahun lalu namun kini sudah berhenti. Masyarakat Tangkahan merasakan langsung bahwa ternyata yang bisa "dijual" dari taman nasional bukan hanya kayu. Justru jasa hutan yang berupa jernihnya aliran sungai berkelok di dalam hutan, bebatuan, lumut, liana, terjalnya bebatuan jungle trek, air terjun, arung jeram, ceruk air panas, memotret dan mengamati mekarnya Rafflesia atjehensis, wisata patroli gajah, dan sebagainya, menjadi modal dasar yang menggemakan nama Tangkahan ke dunia luar. Mereka mendapatkan manfaat langsung dari pengembangan wisata minat khusus ini. Tentu saja pendampingan pengembangan mereka oleh Indecon, TNGL, dan mitra lainnya sangat menentukan penguatan kelembagaan masyarakat lokal ini menjadi lembaga pengelola ekowisata yang cukup handal. Tangkahan telah menjadi icon baru di dunia ekowisata Leuser, nasional, dan internasional. Mulai menyaingi Bohorok/Bukitlawang. Hutan TNGL di Tangkahan telah diposisikan sebagai "Bank", modal pokok yang berupa hutan perawan, sungai, air terjun, kayu-kayuan, berbagai fenomena alam, flora dan fauna yang tidak diambil, tidak diganggu, sementara jasa lingkungannya justru dapat dimanfaatkan secara terbatas tetapi memberi kemanfaatan langsung. Ekonomi lokal mulai digerakkan oleh jasa lingkungan dan bukan oleh bisnis kayu. Patut dicatat, Tangkahan dapat terwujud setelah upaya selama lebih dari 5 tahun yang secara konsisten dilakukan baik oleh masyarakat maupun pihak Balai TNGL dan mitra [vi].
Kearifan masyarakat di Tangkahan, Kecamatan Batang Serangan, Kabupaten Langkat tidak hanya mampu memberikan sumbangan perekonomian masyarakat setempat, namun juga sekalian memberi harapan terjaganya kelestarian hutan dan sekaligus populasi gajah. Agar tujuan tersebut tercapai, keterlibatan para dai dan ulama dalam upaya penyelamatan hutan Leuser termasuk satwa langka didalamnya merupakan suatu keniscayaan. Semoga!
[Bagian buku Onrizal. 2010. Ayat-ayat konservasi: menghimpun dan mengihudupkan konservasi hutan Leuser. YOSL-OIC, Medan]
[1] Seuneubôk meruapakan suatu wilayah baru di luar gampông yang pada mulanya berupa hutan dan kemudian dijadikan ladang
[i] Sinaga, W.H. 2009. Pelestarian gajah sumatera, antara harapan dengan kenyataan. Laporan Utama KKI Warsi. Pp 16. [http://www.warsi.or.id/]
[ii] Onrizal. 2009c. Diambang kepunahan:sejuta asa menyelamatkan kekayaan dunia di Sumatera Utara. Ekspedisi Geografi Indonesia 2009 Sumatera Utara. Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional. Cibinong. Hal 84-87