Mohon tunggu...
Ongky Hojanto
Ongky Hojanto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pakar Public Speaking Indonesia versi koran Kontan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pembicara Seminar | Book Writer | Public Speaker Trainer | NLP Trainer

Selanjutnya

Tutup

Money

Perselisihan China-Jepang

13 Juni 2013   14:03 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:05 641
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Sentimen Anti-Jepang Mendatangkan Berkah bagi Industri Perfilman China

Masa lalu yang sudah diisi oleh kekejaman perang & kejahatan yang pernah menimbulkan rasa benci masyarakat China terhadap Negara Jepang. Beberapa waktu yang lalu, harga diri dan kedaulatan dalam perebutan sebuah pulau mengobarkan lagi sentiment anti Jepang. Di tengah perseteruan ini, Industri perfilman China malah berkelimpahan berkah. Meski mengaku tak berniat membawa sebuah unsur politis, pengamat meyakini industri film memiliki peran penting menjaga sentiment anti Jepang tetap jaya.  SHI Zhongpeng mungkin salah satu pemeran hiburan paling sibugn di China sampai saat ini. Dia mendapat bayaran CNY 3.000 (US$ 488) perbulan dengan menjadi pemeran tentara Jepang, baik di film layar lebar maupun televise.

Meski kurang pandai berseni peran, pria berusia 23 tahun ini sukses menjadi pemeran minor di industri perfilman China. Pernah, kata Shi, dia “mati ditembak” 31 kali dalam sehari.

“Saya memerankan tentara Jepang yang memalukan sehingga penonton akan merasa dia pantas mati,” kata Shi yang baru menyelesaikan perannya di film Warning Smoke Everywhere.

Bagi penonton China, dendam atas pendudukan Jepang di Tiongkok selama 14 tahun, seakan tak pernah padam. Perasaan itu tercermin dari sekitar 200 film anti Jepang yang di buat oleh perusahaan film China sepanjang tahun lalu.

Dendam ini terbakar kembali setelah perselisihan memperebutkan pulau berbatu di Laut China Selatan makin meruyak. Pulau ini disebut Sensaku oleh warga Jepang, tapi Diaoyu oleh China. Ini merupakan perselisihan terhebat lagi antara keduanya sejak Jepang kalah perang pada tahun 1945.

Dendam yang dipelihara selama puluhan tahun ini akan mempersulit China untuk bernegosiasi dengan Jepang. Kebencian ini juga menumbuhkan nasionalisasi bagi warga Jepang. Namun, banyak pengamat hubungan China-Jepang mengatakan, pemerintah China tidak akan cepat-cepat meredam keadaan karena bisa mengalihkan masyarakat dari isu korupsi & polusi lingkungan.

Keberpihakan juga terlihat di lembaga sensor. Lembaga penggunting pita film ini sejatinya banyak memotong adegan yang dianggap tak layak tayang sehingga perusahaan film harus berkompetisi menarik penonton & pengiklan. Namun, pembuat film perang terhadap Jepang lolos lebih mudah. “Hanya tema anti Jepang yang tidak dibatasi,” kata Zhu Dake, kritikus film dan profesor di Tongji University.

Zhu mengestimasi, kisah peperangan mengisi 70% drama televise di China. Dari lembaga pertelevisian Negara, China meloloskan 69 film seri televise tentang anti Jepang tahun  lalu, plus 100 film layar lebar. Hingga April lalu, sudah ada 30 seri film untuk tema yang sama. “Ini tema yang selalu disukai dalam jangka panjang,” kata Jing Dong, actor utama dalam film Warning Smoke Everywhere. Dia membantah, film ini berunsur politis.

Mengacu pada berbagai museum perang, para pembuat film bisa mengeksplorasi kebrutalan penjajahan atau pembantaian Nanjing yang diestimasi menewaskan 300.000 orang warga China. Lembaga sensor China juga bisa menghentikan peredaran film Devils on the Doorstep meskipun memenangkan Cannes Grand Jury Prize tahun 2000. Film yang menceritakan rasa simpati petani di kawasan China utara pada seorang tawanan Jepang ini dianggap kurang menceritakan patriotisme warga China.

Ketika Jepang menasionalisasi sepihak Pulau Senkaku pada September 2012, protes anti Jepang muncul di berbagai kota di China. Alhasil, ekspor Jepang ke China sejak awal tahun hingga Maret lalu merosot 9,1% menjadi ¥ 11,3 triliun. Beberapa korporasi, seperti Nissan Motor, melaporkan penurunan penjualan. “Pembantaian Nanjing pernah terjadi & Jepang pernah menginvasi China. Namun, ketika lebih dari 200 film dirilis, bayangkan efek negatifnya,” kata Yasuhiro Matsuda, professor di Tokyo University.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun