Mohon tunggu...
Ongke Swan
Ongke Swan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Pendidikan Sejarah, Universitas Jember

Saya adalah mahasiswi pendidikan sejarah, Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Operasi Sook Ching: Jejak Kelam Etnis Cina di Asia Tenggara

18 April 2024   14:38 Diperbarui: 18 April 2024   14:51 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : https://biblioasia.nlb.gov.sg/vol-12/issue-4/jan-mar-2017/the-sook-ching/

Orang Cina datang ke kawasan Asia Tenggara sudah sejak awal sejarah untuk menukarkan barang-barang Cina seperti sutra dan porselin dengan rempah-rempah, obat-obatan dan barang-barang yang aneh dan langka dari kawasan Asia Tenggara ini. Pada abad ke- 16 dan awal abad ke 17, ketika orang Barat datang ke kawasan Asia Tenggara, mereka mendapatkan saudagar-saudagar Cina berjumlah sedikit tetapi tersebar luas di kawasan ini. Sejak ekspansi Jepang ke Malaya, masyarakat Cina mulai aktif dalam gerakan anti Jepang. Mereka membentuk Mobilization General Council for Overseas Chinese Resistance Against the Japanese Enemy. Jepang mulai penyerangan ke Malaya pada 8 Desember 1941 dibawah pimpinan Jenderal Yamashita.

Operasi Sook Ching adalah operasi militer Jepang yang bertujuan untuk membersihkan atau menghilangkan unsur-unsur anti-Jepang dari komunitas Tionghoa di Singapura. Dari tanggal 21 Februari hingga 4 Maret 1942, pria Tionghoa berusia antara 18 dan 50 tahun dipanggil ke berbagai pusat pemeriksaan massal dan mereka yang dicurigai anti-Jepang dieksekusi. Sook Ching adalah istilah Cina yang berarti "membersihkan melalui pembersihan". Istilah Jepang untuk operasi ini adalah Dai Kensho, yang berarti "inspeksi besar".

Ada beberapa kemungkinan alasan mengapa militer Jepang melakukan operasi tersebut.

Pertama, militer Jepang mencurigai orang-orang Tiongkok di Singapura karena ketegangan yang sudah berlangsung lama antara Jepang dan Tiongkok, dan pengalaman mereka sendiri melawan orang-orang Tiongkok di Tiongkok sejak tahun 1937.

Kedua, banyak komandan dan tentara Jepang adalah veteran kampanye di wilayah lain di Asia di mana kekerasan dan eksekusi sering digunakan sebagai alat untuk mengendalikan penduduk sipil.

Ketiga, Jepang ingin mencegah unsur-unsur anti-Jepang mengganggu pendudukan mereka di Singapura setelah mendapat perlawanan dari sukarelawan dan gerilyawan Tiongkok selama Kampanye Malaya (1941--1942).

Skema penerapan kebijakan ini ialah dikeluarkannya pemberitahuan dan poster yang memberi tahu para pria Tiongkok yang berusia antara 18 dan 50 tahun untuk melapor ke pusat pemeriksaan yang ditunjuk. Para pria juga berkeliling membawa pengeras suara untuk menyebarkan berita. Pusat pemeriksaan ini berlokasi di seluruh pulau, terutama di daerah yang merupakan tempat tinggal banyak orang Tionghoa. Proses penyaringan tidak sistematis dan tidak terorganisir. Keputusan mengenai siapa yang anti-Jepang didasarkan pada keinginan orang yang melakukan pemeriksaan. Catatan sejarah lisan dari para saksi mata menjelaskan berbagai metode pemeriksaan yang digunakan di berbagai pusat. Di beberapa pusat, korban dipilih berdasarkan pekerjaan mereka, jawaban mereka atas pertanyaan, atau apakah mereka mempunyai tato. Di pusat-pusat lain, informan yang berkerudung akan menunjuk pada orang-orang yang diduga merupakan penjahat atau elemen anti-Jepang.

Para pria yang cukup beruntung untuk lulus proses penyaringan diizinkan meninggalkan pusat tersebut. Mereka diberikan bukti status bersihnya dalam bentuk selembar kertas yang dibubuhi stempel bertuliskan "diperiksa", atau melalui stempel serupa yang dibubuhkan pada wajah, lengan, bahu, atau pakaiannya. Ribuan pria lainnya tidak seberuntung itu. Diduga sebagai elemen anti-Jepang, orang-orang ini dimasukkan ke dalam truk dan diangkut ke daerah terpencil seperti Changi, Punggol dan Bedok untuk dieksekusi. Di lokasi-lokasi ini, para tersangka ditembak mati dengan senapan mesin dan seringkali jenazah mereka dibuang ke laut. Dalam beberapa kasus, tawanan perang Inggris (POW) ditugaskan untuk menguburkan jenazah.

Lokasi pembantaian yang diketahui meliputi pantai di Punggol, Changi, Katong, Tanah Merah dan Blakang Mati (sekarang Pulau Sentosa). Pembantaian disebut juga terjadi di Hougang, Thomson Road, Changi Road, Siglap, Bedok dan East Coast. Akibat dari penindasan yang dilakukan Jepang, muncul gerakan Malayan People Anti Japanese (MPAJ) yang diorganisis oleh PKM. Anggotanya didominasi oleh etnis Cina yang kabur ke dalam hutan karena ketakutan pada kebijakan Sook Ching.

Pada 15 Agustus 1945, Jepang menyerah kepada sekutu. Peristiwa tersebut menandai berakhirnya pendudukan Jepang di Malaya. Namun, pihak Inggris baru tiba pada 3 September di Penang dan 5 September di Singapira. Hal ini menyebabkan kekosongan kekuasaan yang kemudian dimanfaatkan oleh MPAJ untuk menjalankan aksinya dalam menyerang orang-orang yang dianggap telah bekerjasama dengan pemerintahan Jepang. Peristiwa ini mengakibatkan rusaknya hubungan etnis Cina dan Melayu di Malaya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun