Mohon tunggu...
Iswanti Ajah
Iswanti Ajah Mohon Tunggu... -

Seorang teman yang masih muda dan senang olahraga meninggal dalam sebuah perjalanan, bukan karena kecelakaan, tapi karena terkena serangan jantung. \r\n\r\nPagi-pagi teman alm kirim bbm pada temannya. Bunyi bbmnya, dia senang mau pulang. Dia juga bilang harus mengikhlaskan kepergian Alm, biar dia tenang. Ternyata sorenya yang kirim bbm ini juga "berpulang". \r\n\r\nKematian merupakan suatu peristiwa yang pasti bagi setiap makhluk-Nya. Hanya soal waktu saja.\r\n\r\n-- Menulis untuk bisa dikenang oleh keluarga dan handai taulan\r\nhttp://isonetea.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Pembunuh Nomor Satu itu adalah BPJS?

14 Agustus 2015   11:55 Diperbarui: 14 Agustus 2015   11:55 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Pembunuh nomor satu itu ganti nama menjadi BPJS. Begitulah salah satu judul tulisan yang saya baca dari postingan sharing teman di FB. Sebelumnya saya juga membaca tentang curhatan seorang dokter yang menulis bahwa BPJS dzolim terhadap pasiennya.

Saya ingin bercerita sedikit tentang pengalaman keluarga saya dalam menggunakan kartu askes yang sekarang termasuk BPJS.

Bapak saya adalah seorang pensiunan pegawai negeri. Sudah tentu beliau menjadi anggota askes sejak masih aktif bekerja. Namun kartu askes baru kami pakai pada tahun 2000. Saat itu untuk pertama kalinya salah satu anggota keluarga, yaitu ibu saya, harus dirawat di RS. Tidak kepalang ibu saya, setelah masuk UGD, langsung dirawat di  ICU. Saat itu yang dirawat di ICU RS tersebut hanya sedikit. Mungkin karena mahal. Ibu saya agak lama dirawat di sana. Lalu setelah kondisinya membaik dipindah ke ruang perawatan (kelas 2).  Saya lupa apakah biaya ditanggung semua oleh akses. Namun yang saya ingat bapak saya yang merupakan pegawai negeri rendahan tidak terbebani biaya saat ibu sakit. Lalu pada tahun 2011 bapak saya menjalani operasi. Saat itu kami hanya menambah sedikit dari jumlah yang tertera di kwitansi.

Januari 2015 kembali ibu saya harus dirawat. Alhamdulillah ada kamar kosong di RS terbesar di kota saya. Namun kamar itu adalah kamar VIP, karena kamar zona BPJS, yaitu kelas 1,2 dan 3 sudah penuh. Kami sempat was-was dalam hal pembiayaan, karena jatah askes ibu di BPJS hanya berhak dirawat di kelas 1. Ya, ternyata status kelas askes orangtua saya naik kelas di BPJS menjadi kelas 1.  Namun akhirnya kami bernapas lega saat mengetahui kewajiban membayar hanya sekitar 20-an persen dari jumlah total biaya. Saat itu ibu saya dirawat selama 5 hari 6 malam. Sementara itu teman saya yang dirawat di kamar barak di sebuah RS selama 2 hari 3 malam tanpa BPJS harus membayar dengan jumlah nominal yang hampir sama dengan jumlah biaya ibu saya dirawat. Kemarin ibu saya baru saja keluar dari kamar perawatan yang sama pada saat Januari 2015 dengan kewajiban membayar hampir 30 persen dari jumlah total biaya. Sedikit agak mahal karena ibu memakai jasa 2 dokter spesialis dan lebih banyak biaya cek laboratorium serta obat yang harus dibeli tanpa resep.

Ibu teman saya yang lain lebih dari sebulan dirawat di sebuah RS swasta dengan menggunakan asuransi swasta. Alhamdulillah kemarin ibu teman saya pulang. Namun teman sayasaat itu hingga siang hari belum tahu jumlah biaya yang ditanggung asuransi dan harus ditanggungnya. Yang jelas selama dirawat, teman saya sudah mengeluarkan uang cash lebih dari Rp13 juta hanya untuk menebus obat yang dibelinya setiap dokter memberikan resep.

Saat belum ada BPJS, orangtua kami mudah masuk rumah sakit dengan menggunakan askes. Namun sekarang setelah ada BPJS banyak pasien yang dirawat di RS. Teman saya cerita ibunya tidak bisa masuk kamar ICU RS terbesar di kota saya karena ruangan itu selalu penuh. Penuhnya ruangan di RS mungkin karena banyak masyarakat yang menjadi mampu untuk masuk RS karena ada pembiayaan dari BPJS sehingga banyak pasien yang tertolong. Pemegang askes seperti orangtua saya sudah selayaknya berlapang dada karena orang lain pun butuh pertolongan.

Terus terang saya gagal memahami tulisan yang menyatakan bahwa BPJS sebagai pembunuh nomor satu di Indonesia. Kalau memang seorang pasien sangat memerlukan obat yang tidak ditanggung BPJS, sebaiknya tenaga medis memberitahukan keluarga pasien untuk membeli obat yang tidak di-cover tersebut demi menyelamatkan nyawa si pasien. Syawa lebih berharga daripada uang, bukan? Asuransi swasta dengan premi yang mahal perbulannya pun ternyata  tetap saja masih ada biaya yang tidak ditanggung, dan keluarga si pasien tetap harus merogoh kantong. Demi nyawa orang yang kita cintai, apa salahnya kita berkorban sedikit. Bisa dibayangkan bila kita harus menanggung semua biaya rawat inap keluarga kita yang sakit, maka sakit bisa mengakibatkan kebangkrutan.  Maka bersyukurlah.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun