"Itu yang lagi satu karton tolong dibawa masuk," ujar Pak Ahok, bos distributor sabun batangan. Sambil menoleh ke arah pegawainya yang sedang berdiri santai.
"Hahh?" sahut Centonk sang pegawai.
Sang bos pun mengulangi perintahnya itu.
Samudji yang memperhatikan dari sebelah, dari balik kaca warungnya hanya tersenyum. Dia berpikir bisa-bisanya Centonk yang kurus kering itu menghardik sang bos. Pak Ahok yang dikenal galak itu. Lucunya Pak Ahok ya koq tidak merasa kena hardik. Malah mengulangi lagi ucapannya.
"Inilah budaya baru di negeri tercinta," pikiran Samudji menyimpul.
Dia menyimpulkan seperti itu karena rata-rata pelanggannya juga seperti itu. Seakan-akan dia dipaksa mengucapkan kalimat yang sama hingga dua kali.
Terlebih jikalau pelanggan setianya, Ibu Erna yang memiliki suara jangkung nan lengking itu berkunjung. Suku katanya bukan 'hah' lagi. Tapi sudah menjadi 'HEHH.' Dengan warna sengau.
Pengucapannya pun bukan di rongga mulut. Tapi beresonansi di hidung. Bak suara orang perancis. Terdengar mirip suara kucing tergencet daun pintu. Mengerikan.
Bahkan belum selesai Samudji mengucap sebuah kalimat, kata 'HEHH' itu sudah tersembur.
"Ada yang salah dengan orang-orang ini," demikian kadang Ia bergumam dengan hati jengkel alang kepalang.
Sempat Terpapar di Masa Silam
Samudji kembali teringat ke masa mudanya. Saat masih bersekolah di pulau seberang. Saat libur tahun pertama, dia pulang dan bercakap-cakap antusias dengan Ayahnya.
Dia masih ingat betul. Di tengah percakapannya itu, Ayahnya sempat melontarkan kalimat, "Kau sekarang berbeda. Jauh berbeda daripada sebelum Kau ke tanah Jawa."
Samudji sempat bangga. Dia merasa ilmunya bertambah memenuhi harapan orang tua. Hingga Ayahnya terang-terangan mengatakan itu. Bahkan saat itu dia ingat sempat memperbaiki posisi duduk. Padahal sanjungan itu masih belum jelas arahnya.
Kalimat Ayahnya berlanjut.
"Dulu saat Kau masih di rumah, saat bercakap-cakap, dengan satu kali ucapan saja Kau sudah paham. Sekarang mulut Kau itu meracau tidak karuan dengan 'hah' 'ohh' 'hah' 'ohh'. Perlu berulang-ulang bicara hanya untuk hal sepele."
"Kau sudah tertular. Itu penyakit menular. Harus Kau enyahkan. Kalau Kau pelihara, itu akan membudaya. Bencana bagi Kau!"
"Jangan Kau bawa penyakit ke rumah ini. Nanti saat Kau balik sekolah, Kau perhatikan kawan-kawan Kau. Pasti ada salah satu yang menulari Kau itu. Perbaiki Dia! Atau Kau dan Kampus Kau akan 'hahh' 'ohh' 'hahh' 'ohh'!"
Jlebb! Dada Samudji terhantam. Rupanya setahun ini justru kemunduran yang dia bawa pulang. Maka semenjak kejadian itu dia sangat memperhatikan hal sepele itu.
Ayahnya juga sempat mengatakan, kalau sampai membudaya, orang tidak perlu budeg untuk melakoninya. Orang akan menganggap itu hal yang lumrah. Padahal bagi yang tidak terbiasa, akan sangat mengganggu.
Di belahan bumi lain, kalau ada ucapan yang kurang jelas dan minta diulang, lawan bicara justru seakan memohon maaf. Oleh karena merasa kurang memperhatikan.
Hal itu diungkapkan dengan kalimat,
"I'm sorry, would you repeat what just you said?" (Maaf, apakah anda berkenan mengulangi perkataan anda barusan?)
Atau dengan kalimat yang lebih sopan,
" I beg your pardon," (mohon maaf) atau,
"Pardon Me." (maaf) atau,
"Pardon." (maaf).
Tentu dengan nada dan tatapan yang lembut dan disertai dengan dongakan kepala yang rendah.
Kalaupun akan menjadi budaya, mari pilih dengan cara yang santun. Rasanya tentu akan elok. Walaupun sedikit budeg.
Boleh? **
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H