Fenomena keunggulan 'kotak kosong' menjadi perbincangan hangat dan menarik, menyusul dinyatakannya hasil perhitungan cepat (quick count) hasil Pilkada Wali Kota Makassar, 27 Juni 2018.
Bila kemenangan kotak kosong itu benar, maka bibit-bibit perlawanan kekuatan rakyat (people power) sesungguhnya mulai menggeliat. Dan hal ini merupakan cerminan ketidakpuasan dan tergerusnya  kepercayaan rakyat kepada elit penguasa, politisi maupun partai politik.
Ada tiga hal yang patut dipertanyakan yakni : Pertama, mengapa calon tunggal dalam Pilkada itu muncul? Padahal secara realitas kita memiliki segudang kader-kader pemimpin, baik yang lahir dari partai maupun non partai.
Kedua, Mengapa usungan calon tunggal dalam Pilkada harus disandingkan dengan kotak kosong? Bila ingin fair, kotak kosong pun dapat "diadakan" pada usungan beberapa calon dalam Pilkada untuk mengukur kualitas proses politik dalam demokrasi.
Ketiga, apakah kemenangan kotak kosong dapat dikatakan mimpi buruk bagi demokrasi di Indonesia?
Perilaku Oligarki-Aristokrat
Calon tunggal dalam Pilkada adalah produk rekayasa politik yang seringkali lahir secara prematur. Produk ini terlahir karena adanya kekuasaan politik efektif yang dimonopoli sejumlah kelompok elit kecil dari masyarakat dengan merujuk pada status sosial, kekayaan maupun dari buah politik kekerabatan.
Kondisi ini tercipta karena peran elit penguasa yang berada di tangan kelompok tertentu yang memiliki keistimewaan. Kekuasaan tersebut dimiliki kalangan yang menduduki posisi penting dalam hierarki kekuasaan negara maupun wilayah tertentu, kemudahan dalam mempengaruhi proses rekrutmen dan usungan partai politik pada setiap pesta demokrasi dapat dikendalikan.
Dalam setiap proses rekrutmen politik, situasi ini dapat melahirkan sejumlah kompetitor-kompetitor baru dalam menyiapkan pemimpin daerah yang mumpuni.
Lemahnya pemahaman makna demokrasi yang dilakonkan oleh partai politik maupun para politisi mendorong munculnya berbagai siasat politik untuk meringankan persaingan. Munculnya calon tunggal adalah bagian yang tidak terpisahkan dari produk perilaku politik oligarki-aristokrat.
Mekanisme Kontestasi