Akhirnya kutemukan tempat persembunyian waktu yang sedang sibuk membicarakan kita. Tepat di antara dua musim yang sengaja bergantian menjaga pertemuan dan perpisahan.
Tempat itu dipenuhi cinta. Terhampar kasih sayang yang begitu silam. Akarnya kuat menancap nurani. Bagian atasnya rindang. Sekotak bekal cinta dari ibu telah kulahap disana. Rasanya nikmat sekali, seperti belaian yang tak pernah henti.Â
Untuk kesana ada anak tangga kerinduan yang berkelok. Setiap keloknya tersimpan kerinduan yang purba. Barangkali ibu pernah membungkus rindu untukku, saat merantau menemuimu. Aku juga tak berniat menyalahkanmu, terkadang waktu terlalu lama tersimpan. Entah dibalik bantal tidurmu, atau sengaja kau simpan di tempat yang tak kukenali.
Di pelataran belakang, tumpukan kenangan terbengkelai. Kelihatannya tak ada lagi yang peduli. Aroma tuba seringkali tercium disana. Merangsek ke trakea, lalu berhenti di bilik-bilik kepala. Mengobrak-abrik ingatan yang selama ini sudah dikemas oleh gulungan kalender.
Kini aku ingin keluar dari sana. Tapi, tiba-tiba sandyakala telah mengobarkan cinta yang lain. Persis di bawah kaki rembulan, dimana aku takut kehilanganmu. Bergetar genggamanku. Tak ada niat melepaskan jemarimu saat kunang-kunang tak berkelip lagi. Hingga esok hari embun berulangkali meninggalkan ujung kelopak mawar.Â
Apakah kau hendak bersembunyi lagi dari harapanku?
SINGOSARI, 12 September 2022
Sumber gambar https://www.istockphoto.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H