Seorang pemuda dengan sombongnya mempermainkan sepi. Dibuatnya gulungan detik menjadi bola yang berapi. Ditendang kesana-kemari. Angin terdiam dan memandangnya seolah biasa saja.
Dicurinya menit pertama untuk foya-foya. Ia pikir dengan menumpuk kebahagiaan akan terhindar dari sepi.
Dilepasnya syahwat untuk membungkam sepi agar ramai nada-nada sumir.
Diinjaknya harga diri orang lain agar tak berpendapat, ketakutan, dan menderita di bawah kuasanya.
Sepi mulai terluka. Matanya tak mampu melihat lagi. Jemarinya bengkak. Perutnya kembung. Kakinya lumpuh. Nampak sayatan kisah masih basah. Ribuan parodi telah melapor kepada penguasan alam.Â
"Ini gimana Tuhan? apakah hidup sudah tidak berpasangan lagi? bukankah ada kaya juga ada miskin? bukankah diciptakan hitam dan putih supaya saling melengkapi?"
Langit bergemuruh, lembaran bait-bait puisi di bongkar dari awan, badai dan petir siap di panggung membacakan puisi.
Tiba-tiba, pemuda itu terpeleset. Kepalanya membentur lantai. Tubuhnya terdiam. Tak bergerak lagi. Sepi mengerubuti. Lebih banyak, dan banyak lagi. Sampai angin tak kuasa menahan mereka yang terus merangsek.Â
Lamat-lamat terdengar suara, membacakan bait lama dari Chairil Anwar, "Mampus Kau dikoyak-koyak Sepi."