Mohon tunggu...
SANTOSO Mahargono
SANTOSO Mahargono Mohon Tunggu... Pustakawan - Penggemar Puisi, Cerpen, Pentigraf, Jalan sehat, Lari-lari dan Gowes

Pada mulanya cinta adalah puisi. Baitnya dipetik dari hati yang berbunga

Selanjutnya

Tutup

Tradisi Pilihan

Macet Saat Perjalanan Mudik, Bukan untuk Mengeluh Apalagi Mencibir

9 Mei 2022   12:02 Diperbarui: 9 Mei 2022   17:24 1000
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Gambar: www.balingbambu.com

Mudik menjadi tradisi tak terelakkan di Indonesia, bahkan mudik juga berlaku di beberapa negara dengan berbagai ritual keagamaan serta tradisi lokal yang ada. 

Selain menjadi tradisi, mudik juga mengandung filosofi beragam, tergantung siapa yang melakoni. Sebagai perantau, mudik adalah perwujudan kerinduan pulang selama jauh dari rumah.

Sebagai anak yang menempuh pendidikan di luar kota atau di luar pulau, mudik merupakan kesempatan untuk melenturkan pikiran setelah sekian waktu mengikuti aktivitas belajar mengajar. Bagi keluarga yang masih memiliki orang tua di lain tempat, mudik adalah bakti anak kepada orang tua untuk memohon maaf sekaligus doa restu untuk kehidupan lebih baik.

Mudik dengan segala peristiwa serta kejadian yang menyertai menjadi sebuah gawe besar, seperti hajat raksasa yang melibatkan penduduk dan negara. Sebuah kebutuhan yang mau  tidak mau harus ditunaikan. Keinginan yang telah disiapkan jauh hari sebelum mudik itu tiba.

Tak ayal, bukan hanya jalan dan moda transportasi saja yang terlibat. Sebutlah ada proses pemesanan tiket, booking hotel, persiapan obat-obatan, baju baru, perbaikan kendaraan, dan segala pernik di dalamnya.

Tradisi mudik di Indonesia dari tahun ke tahun juga mengalami peristiwa yang silih berganti. Tergantung suasana nasional yang sedang melingkupi. Tak hanya cuaca serta perkembangan yang sedang terjadi, bahkan hal-hal politis pun ikut terbawa dalam suasana mudik.

Pelaku mudik atau acapkali disebut pemudik kini juga semakin beragam. Jika menoleh ke belakang, beberapa puluhan tahun yang lalu pemudik masih mengandalkan transportasi umum. Naik kereta api berjejalan bahkan sampai di atas atap menjadi pemandangan yang kini sudah tak lagi dijumpai.

Mungkin saat itu penumpang banyak yang mengeluh, sampai kapan mudik berdesakan dengan gerbong yang pengap serta wira-wirinya pedagang asongan.

Jika naik kapal laut, perjalanan yang ditempuh juga perlu waktu yang lama. Ada yang harus menempuh seminggu di laut. Bangun tidur sampai tidur lagi yang dilihat hanya hamparan laut. Padahal pikiran dan hati sudah tertambat di kampung halaman.

Mungkin beruntung yang naik pesawat, selain cepat dan tidak berdesakan juga terasa adem. Tapi jangan salah, tarif tiket pesawat juga ikut naik, belum lagi antri pesan tiket sebulan sebelumnya, yang pasti juga membuat kantong jebol kalau tidak benar-benar berduit.

Bagaimana yang naik bus dan moda transportasi lainnya? bagaimana pula dengan sepeda motor yang dimodifikasi dengan bambu untuk menambah bagasi barang bawaan? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Tradisi Selengkapnya
Lihat Tradisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun