Puluhan tahun aku dibesarkan di rumah ini. Rumah kecil yang menghangatkan keluarga. Rumah petak yang sempit lagi, dengan beragam cerita.Â
Jika pagi tiba, mentari membagi semangat pada kami. Saat hujan singgah melelapkan malam, dendang katak sebagai penghantar tidur.
Bapak selalu menunaikan tugas untuk keluarga. Ibu menjaga dapur agar perut panjang umur. Keduanya malaikat dari surga yang tak pernah mengeluh dengan hidup yang lusuh.
Kami bahagia dalam sajak yang sederhana, dalam bait-bait kehidupan yang sahaja. Aku menulisnya saat kepalaku ditumbuhi permainan bocah-bocah tanpa alas kaki. Mereka sahabat karibku yang terhimpit tempat bermain.
Kini, aku tak lagi menulis sajak. Pemilik rumah menghendaki kami pergi. Kami siap berkemas, walau ada tanya dalam sanubari, "Mengapa seperti ada yang hilang? bukankah kami tak pernah memiliki apapun?"
Baru teringat pesan bapak, "Pergilah mengembara, sebab masa depan milikmu, biarkan bapak ibu di sini, mengais rejeki disamping kubur yang belum terisi."
Aku memang ingin mengembara. Mencari ribuan kata di tanah sana. Pada sajak yang tergilas waktu dan tak mampu kuterka. Hanya rumah kecil ingin kubangun, ketika senja merenda mata bapak ibu, pulang ke rumah adalah kebahagiaan.
Tuhan, bolehkah aku menginap semalam di pelataran-Mu?
Aku ingin sepetak rumah dengan segenap puisi.
Aku ingin sajak-sajak berpagar melati.
Sebelum bapak ibu kembali pulang dalam abadi
Bukankah kami tak pernah memiliki apapun?
SINGOSARI, 12 Desember 2021
 Sumber gambar https://asset.kompas.com/