Ada banyak yang hilang di tanah kelahiranku.
Apakah disembunyikan bulan, atau dibawa pergi matahari, aku tak tahu.
Bapak berangkat ke sawah memanggul cangkul, serta obor sebagai penerang jalan. Jika ditanya kemana mereka pergi, mungkin sawah ingin menjawab, tapi tak sanggup. Sebab padi tak lagi membiayai kehidupanku.
Adik perempuanku yang rajin menyapu halaman tiap pagi, serta si bungsu yang membantu membuang dedaunan kering. Sekarang mungkin tak banyak pohon yang menggugurkan daun, jadi jangan bertanya mengapa mereka harus beli buah di supermarket.
Kemana ibu pergi? carilah di dapur, barangkali sedang menanak nasi atau menyeduh teh hangat. Ternyata tidak demikian. Ibu tak lagi akrab dengan asap dapur. Cerita-cerita tentang si kancil juga mengepul menembus celah genting.Â
Aku yang pandai membaca dan menulis baru sadar, ternyata ada banyak yang hilang di tanah kelahiranku, yaitu:
rahim ibu
capil bapak
obor bambu
dakon
lompat tali
bola sabut kelapa
egrang
layang-layang
kelerang
rantang nasi
sepeda bapak
timba seng
tikar pandan
sapu lidi
pensil tumpul
rautan
sumur, dan
piring seng.
Uangku yang melimpah dan tersebar di beberapa bank itu ternyata tak cukup membeli seluruh beberapa kehilangan.
SINGOSARI, 24 Oktober 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H