Khatam sudah lembaran puisi kemarau yang separuhnya bercerita tentang akar-akar kering di tanah hangat. Sehingga aku mudah menceritakan kembali bagaimana tajuk samsara menghambat hirup cinta. Mendidihkan rindu yang tak lagi bersua.
Kepalaku telah menyiapkan sinopsis untuk jalanan yang terbuat dari gamang dan lengang. Dari malam yang gagap hingga pagi yang gugup, serta jantung yang selalu berdegup.
Dalam petik puisi yang tertulis waktu, kuharap ada syair indah yang mampu menyayat sepi. Biarkan pertemuan riuh kembali dengan perbincangan dan semoga itu semua bukan kegaduhan yang menyingkirkan percakapan.
Semoga pula ada syair penutup yang melupakan getir, ruang lengang serta gumpalan tangis. Sebab itu semua hanya kisah sepi yang meratap.
Aku hanya ingat ada titimangsa tertulis di akhir puisi itu. Hujan kecil di September. Semoga bahagia mengguyur duka. Sebab bahagia ada di setiap musim bagi penjaga cinta. Tak perlu berselisih musim apa yang paling berkesan.
SINGOSARI, 10 September 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H