Kenangan merintik bagai gerimis. Mendinginkan sisa kesepian.
Aku tak lagi berteduh di beranda masa lalu. Sudah kukemasi majas-majas dari kata yang menjadi sesembahan. Serta lembaran sajak-sajak yang belum usai hingga tapal batas kota.
Ada spasi antara senja dan petang yang sempat menguar. Aromanya menyeretmu dalam jajaran padma yang tak berbunga. Seketika matamu nanar.
Sesuap harapan kutawarkan padamu, dari sisa mimpi diantara remah roti semalam. Namun, keningmu bukan lagi tempat bibirku mendarat. Hasrat kesendirianmu seperti aniaya yang tak terkatakan. Kubuka lagi kisah dalam fiksi, dimana kita pernah merawat bunga-bunga yang mencala rupa indah di taman.
Semakin larut gerimis menjadi hujan lebat. Kenangan menggenang di pelataran. Kubangan membasahi rindu yang berdebu, sisanya kelopak bunga hanyut terbawa jarak, entah sampai kapan fatwa rindu ini bermuara di samudra hatimu. Â
SINGOSARI, 8 September 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H