Tiap Kamis sore aku selalu berziarah ke makam Ayah. Sebuah makam yang tidak begitu luas tapi tertata rapi. Ayah adalah veteran pejuang kemerdekaan. Sehingga ketika wafat, pemerintah mengusulkan untuk dimakamkan di Taman Makam Pahlawan.
Semasa hidup Ayah tak begitu mempermasalahkan dimana kelak ia dimakamkan. Baginya, perjuangan untuk kemerdekaan adalah pengorbanan yang tak bisa ditebus dengan apapun. Apalagi banyak dari kawan seperjuangan Ayah yang gugur demi merebut kemerdekaan.
Aku sendiri tak pernah membayangkan sebelumnya bahwa pada suatu saat nanti akan rajin berziarah ke taman makam pahlawan. Padahal makam itu tepat berada di pintu keluar kampus dimana aku sering melintasi. Dulu mungkin masih sepi dan tidak banyak bangunan yang berdiri di sekitarnya. Sehingga nampak nisan berjajar rapi dari luar pagar.
Kini perlahan-lahan beberapa bangunan mulai berdiri. Ada mall, ada kost mahasiswa dengan lantai bertingkat, ada pula bangunan-bangunan baru serta beberapa baliho dan beberapa reklame iklan lainnya.
Dulu, setiap malam 17 Agustus selalu ada upacara tabur bunga dan Ayah sering mengikuti prosesi tersebut. Kesedihan mendalam nampak pada raut wajah ayah ketika pulang. Bukan hanya kehilangan kawan, Ayah juga merasa prihatin atas perkembangan di sekitar taman makam pahlawan saat ini.
Dulu di sekitar area taman makam pahlawan suasananya sangat teduh. Banyak pohon-pohon besar yang seolah menjadi saksi gugurnya satu persatu pejuang kemerdekaan.
"Pengembang mall itu telah menebang puluhan pohon trembesi di sekitar taman makam pahlawan!" ujar Ayah berulang kali setiap kali aku bertanya mengapa ia semakin sedih usai upacara tabur bunga. Padahal aku selalu mengantarnya dan berusaha untuk tidak mengantuk selama perjalanan pulang. Aku tak paham mengapa Ayah begitu erat dengan pohon-pohon trembesi di sekitar makam.
Lebih dalam lagi, di sela-sela menunggu prosesi tabur bunga dimulai Ayah masih sempat mengitari area taman makam pahlawan hanya untuk menilik beberapa pohon trembesi. Sesekali Ayah juga menghitung dan mengira-ngira. Seperti ada yang tertinggal sekian waktu.
Jika dirasa kurang jelas, Ayah mengajakku mengulangi esok harinya. Menghitung lagi dan memandangi beberapa pohon trembesi dengan waktu yang lama. Aku hanya hafal ketika linangan air mata Ayah menitik di sudut mata, maka cengkeraman tangannya seolah mengajakku untuk pergi dan berpindah ke pohon trembesi lainnya.
Satu-satunya perasaan yang bisa kurasakan saat itu hanyalah merasa tenteram dan teduh di bawah pohon trembesi. Bahkan terkadang aku terkantuk-kantuk saat mendampingi Ayah. Bukan hanya semilir angin yang sejuk, namun juga karena seksama mendengar cerita Ayah yang menceritakan perjuangan bersama kawan-kawannya dulu.