Saat pandemi covid-19 belum reda dengan penerapan PPKM Level 4 di beberapa daerah, tiba-tiba saja publik disuguhi pemandangan baliho politisi yang terpampang di pinggir jalan. Belum ada data pasti berapa baliho yang terpasang di sejumlah daerah itu. Pun begitu tak ada data pasti berapa anggaran yang telah dihabiskan untuk baliho-baliho tersebut.
Beberapa orang mungkin bisa saja mengasumsikan anggaran untuk satu baliho, tapi semua hanya tebak-tebakan belaka. Lagi pula publik tak menghiraukan urusan internal partai politik terkait anggaran baliho tersebut. Tak jauh berbeda dengan partai politik, mereka juga sangat berhati-hati ketika menayangkan laporan keuangan partai, apalagi untuk konsumsi "iklan politik" semacam baliho politisi. Selain terkait dengan laporan dan pajak, tentu anggaran partai politik memiliki makna sebagai "amunisi" yang tak boleh diketahui secara pasti oleh lawan partai politik.
Konon masyarakat banyak yang mencibir dengan kehadiran baliho politisi tersebut. Terutama bagi mereka yang terdampak oleh covid-19, bagi mereka yang sedang mengantri tabung oksigen, dan bahkan juga bagi anak-anak yatim piatu yang ditinggal mati orang tuanya karena covid-19. Bukan baliho politisi saja yang disayangkan, namun secara keseluruhan. Meliputi biaya, tokoh, jargon, kreatifitas dan pemasangan di beberapa titik yang mengganggu pemandangan di saat masyarakat masih didera sakit.
Bagi yang terdampak PPKM di dunia usaha, tentu kehadiran baliho politisi ini tak memberi manfaat serta dampak yang signifikan. Mereka para pedagang kaki lima saat ini memerlukan penghasilan untuk keluarga. Bagaimana bertahan dalam waktu yang terbatas serta daya beli yang anjlok. Menurunnya omzet membuat mereka abai dengan pesan apapun yang tertulis pada baliho politisi. Meskipun mungkin mereka akan teringat jargon singkat yang tertulis di baliho, tapi bagi pedagang maupun wirausaha yang terpenting saat ini adalah memperoleh penghasilan dengan lancar. Perubahan politik apa yang terjadi pada tahun 2024 sangat tidak penting bagi mereka.
Terkecuali mungkin bagi perusahaan bidang iklan (advertising) yang meraup untung oleh pesanan baliho politisi ini. Secara kasat mata pemasangan baliho politisi di lokasi yang strategis tentu akan mengalirkan pundi-pundi rupiah di rekening mereka. Ironinya dengan biaya yang mahal, publik hanya melihat sepuluh detik. Belum lagi waktu yang tak tepat memasang baliho tersebut. Waktu dimana uang banyak lebih baik digunakan untuk hal-hal yang darurat.
Bisa jadi partai politik masih memegang teguh teori komunikasi politik yang menegaskan bahwa pesan di baliho politisi merupakan kekuatan tak terabaikan, sebab pesan pada baliho adalah produk dari komunikasi politik. Pesan menentukan pemaknaan publik terhadap proses komunikasi. Tak ayal ribut-ribut soal baliho politisi pun sukses mengundang atensi publik dan menuai berbagai reaksi dari masyarakat umum maupun para ahli. Hal ini seperti menegaskan bahwa baliho masih menjadi media komunikasi politik yang populer.
Benarkah baliho poilitsi masih relevan?
Jay G. Blumler dan Dennis Kavanagh dalam sebuah artikel berjudul The Third Age of Political Communication: Influences and Features mengungkap bahwa kehadiran generasi ketiga atau generasi yang melahirkan media baru perlahan meninggalkan cara-cara konvensional dalam menampilkan produk. Hadirnya media baru berbasis eletronis dan internet mampu menambah daya pemasaran. Media baru ini lebih cepat, melimpah, menjangkau secara luas, dan terakses dengan cepat dalam bentuk berbagai jenis. Artinya tak hanya mengandalkan gambar belaka, tapi juga dengan menu pandang dengar (audio visual).
Salah satu perkembangan media generasi ketiga tersebut disebut salah satunya televisi, radio, player (pemutar sarana pandang dengar) serta komputer dengan akses internet. Sarana yang digunakan juga bukan hanya laptop maupun komputer desktop, tapi sudah merambah pada ponsel pintar atau smartphone. Dimana sebagian besar penduduk Indonesia memegang alat mungil tersebut.
Artinya semakin kesini, semakin berkembang pula teknologi yang bisa dimanfaatkan sebagai "iklan politik" selain menggunakan baliho politisi. Adalah media sosial dengan segala ragamnya tentu menjadi tren saat ini. Catatan menarik pengguna media sosial di Indonesia tentu bukan hal yang mengejutkan.Â
Adalah Hootsuite yang bekerja sama dengan  We Are Social (media di Inggris) yang mengungkapkan laporan berjudul "Digital 2021: The Latest Insights Inti The State of Digital" pada 11 Februari 2021 lalu mengungkapkan bahwa masyarakat Indonesia menghabiskan waktu per hari rata-rata delapan hingga sembilan jam untuk mengakses internet. Dari delapan jam itu ada rata-rata tiga jam seperempat menit setiap harinya untuk mengakses media sosial.
Bahkan 170 juta jiwa dari total populasi Indonesia sebanyak 274,9 juta jiwa adalah pengguna aktif media sosial. Berdasarkan aplikasi yang paling banyak digunakan, secara berurutan posisi pertama adalah YouTube, WhatsApp, Instagram, Facebook, lalu Twitter.