Baru kali ini aku bisa melihat gunung dari lotengku. Serasa udara sejuk. Paling tidak sejak tak ada kemacetan, juga penghargaan yang diberikan kepada penguasa kota.
Memang hidup di kota selalu begitu. Merindukan suasana desa. Padahal, orang-orang desa banyak yang bermimpi ingin tinggal di kota. Maka, berbondong-bondonglah pemuda pemudi desa ke kota.Â
Mereka melipat harapan serta mimpi lalu dijejalkan ke dalam tas ransel. "Berangkatlah usai subuh, agar kenangan hawa sejuk terbawa ke kota," demikian pesan ayah bunda.
Kata berita di koran, saat ini di kota jalanan tak lagi macet. Trotoar dibangun cantik supaya pejalan kaki semakin banyak. Juga beberapa kawasan dicat warna-warni, seperti hidup yang penuh liku-liku.
Bus berhenti sebelum masuk kota. Penumpang dari desa tidak bisa melanjutkan perjalanan ke kota. Samar-samar dari loteng kulihat ribuan penumpang tertahan di batas kota. Seperti banjir penduduk desa ke kota.
Tapi tunggu!
Diam-diam kulihat ke bawah, rupanya kota memang benar-benar sedang banjir bah. Sudah pasti buku sekolahku basah. Ayah bunda pun resah. Apalagi tetangga yang tak punya loteng, pasti pasrah.
Kulihat ke atas seraya bertanya, "Apakah hujan selalu salah?"
SINGOSARI, 21 Februari 2021Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H