Mulai hari ini kuumumkan pada kalian, bahwa ada sepenggal kata yang ingin menggantikanku menulis puisi. Sejatinya sepenggal kata itu hidup menyendiri, mirip seperti aku. Tapi, diam-diam ia mengumpulkan kalimat. Ia berseru lalu menjadi ajakan-ajakan yang dimuat dalam berita, obrolan dan penghuni kamus. Maka, ramailah jagat bahagia media sosial. "Ya Tuhan, terima kasih telah membuat orang-orang bahagia dengan media sosial."
Lalu kulanjutkan perjalanan gumamku. "Persetan dengan mereka!" demikian aku menjadi kian marah sekaligus cemas. Bagaimana tidak, mereka akan menggulingkan penaku yang runcing. Lembaran kertas yang telah siap sedia menjadi ibu dari jabang bayi puisi. Sebagaimana perempuan dalam puisi yang membesarkan sendiri kata-kata sejak ditimang.
"Wahai pohon kelapa yang menjadi nyiur di negeri ini, terimalah suratku, balaslah secepatnya" aku mulai mengancam. Sebab yang kutahu pohon kelapa punya banyak guna. Tunasnya saja menjadi praja muda karana. Pastilah ia akan segera memberiku penawar ini, sebagaimana air kelapa hijau yang menyehatkan.
Seminggu lamanya aku menunggu, tak ada balasan apapun. Nyiur kelapa hanya melambai-lambai oleh berbagai hempasan angin. Debur ombak meninju karang. Matahari memanggang rerumputan. Hujan silih berganti singgah di rumahku. Sepenggal kata tak jua undur diri. Ia menyelinap dalam pikiranku.
Merangsek, menembus dan mengganti secara paksa akal sehatku. Sepenggal kata itu telah berhasil merebut paksa pikiran di kepalaku. Menyingkirkan cemasku, tangisku, serta segala ketakutan akan kehilangan. Jadilah puisiku seperti ini. Jangan salahkan aku.Â
"Aku menyerah, aku masih ingin menulis puisi" rintihku seraya melambaikan bendera putih. Nampak kamus tebal hanya prihatin mendengar rintihanku.
SINGOSARI, 7 Februari 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H