Semalam hujan bagai sebuah acara perpisahan. Menangisi kepergian tahun silam. Tak ada perayaan maupun konvoi. Kita masing-masing cukup menjadi kembang api. Melesat keatas, menyala, meletup lalu sepi.
Kulihat tukang becak meringkuk berbalut sarung. Ia sedang menjinakkan mimpi liar. Mengangkut penumpang yang hendak membuang kenangan pada jalanan basah oleh resah.
Sampai di warung yang tutup. Bangku-bangku mengantri sepi. Penjualnya sedang memburu angan-angan di belukar ketidakberdayaan. Pembeli rela menjejali perutnya dengan orasi santapan nikmat. Berharap daging pada lembaran uang yang kerasan menyepi di dompet.
Ambulan berkeliaran dan melolong seperti serigala, siapa yang keluar akan diterkamnya. Maka, orang tua kehabisan dongeng, anak-anak tertidur setelah memberi tanda lonceng. Kuota data berjaga di setiap rumah. Tak ada kantuk yang dicuri maling.
Hanya aku yang getir, melihat kalender mengelap pipinya yang gerimis. Ia berkata: "Aku pamit dulu, maaf jika selama ini mengurungmu, sekarang kamu sudah bebas, silahkan memetik kelopak bunga sesuka hatimu"
Tahun dua puluh bergegas mengemasi serpihan harapan, ia pergi bersama penumpang tua yang tak sempat melunasi catatan hutang. Orang-orang hanya menabur kelopak bunga diatas kisahnya yang terkubur waktu.
SINGOSARI, 1 Januari 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H