Romlah sedih, tak ada tetangganya yang hadir dalam selamatan untuk arwah suaminya. Sampai menjelang malam, hanya suara jangkerik yang seolah turut menangisi kondisi itu.
Warga sekitar bukannya tidak mau menghadiri undangan Romlah. Mereka tahu persis siapa suami Romlah. Dukun santet yang terkenal ganas dan tega menghabisi nyawa orang lain.
Sejak kematian suami Romlah, situasi dusun mencekam. Konon dukun santet dari daerah lain telah membunuh suami Romlah. Ditambahkan lagi siapa saja yang turut bersedih atas kematian suami Romlah dianggap sebagai sekutunya. Hukumannya sangat jelas, disantet hingga mati.
Kekecewaan Romlah mendalam sekali. Sampai malam tak satupun warga menghadiri selamatan. Romlah teringat pesan mendiang suaminya, jika warga dusun tidak membantu, pergilah sebentar ke sungai Kalirewang. Bertapalah sebentar saja.
Maka, malam itu Romlah berpamitan kepada sanak saudaranya yang ikut berduka di rumah. Mereka sebenarnya mencegah kepergian Romlah, namun karena sudah dijelaskan secara gamblang dan meyakinkan akhirnya luluh juga.
"Hati-hati Romlah, ini sudah sangat malam sekali, biar sepupumu yang mengantar" pesan Pakde Warijo.
"Boleh mengantar tapi tak boleh mendekati sungai Pakde" balas Romlah seraya membalut tubuhnya dengan jarik (kain batik penutup untuk perempuan).
Berangkatlah Romlah diantar sepupunya menuju Kalirewang. Jaraknya sekitar dua kilometer. Arusnya tidak deras, tinggi permukaan hanya separuh lutut kaki orang dewasa. Disanalah suami Romlah sering bertapa. Kini Romlah seorang diri akan bertapa seperti anjuran suaminya.
Sejam lamanya saudara-saudara Romlah dibuat cemas. Khawatir terjadi sesuatu menimpa Romlah. Namun rupanya tidak demikian. Sepupu Romlah telah pulang terlebih dahulu. Ia menceritakan bibinya akan diantar oleh serombongan orang-orang dari sungai Kalirewang.
Benar, beberapa menit kemudian orang-orang itu mulai berdatangan, Romlah ada diantara mereka. Rumah Romlah mendadak dipenuhi orang-orang. Kata Romlah mereka yang akan mendo'akan suaminya. Ikut selamatan yang digelar pada malam ini. Rambut mereka gimbal. Semua bertelanjang dada. Dileher mereka juga melingkar kalung hitam dengan taring babi hutan (Bahasa Jawa: Celeng) sebagai hiasan.
Berbagai mantra dirapal oleh seseorang, mungkin dia yang dituakan. Sementara yang lain hanya ikut komat-kamit tapi tak bersuara. Malam itu rumah Romlah dipenuhi peserta selamatan. Sedangkan, rumah-rumah tetangga nampak gelap dan dikepung kabut.
Puncak selamatan adalah suara menggelegar di angkasa. Sebuah sinar terang berwarna merah dan kuning saling berhamburan. Dusun menjadi terang sekejap dan kini gelap lagi. Namun tak seorangpun tahu tentang kondisi itu. Seolah warga se-Dusun dibuat lelap (Bahasa Jawa: Kesirep).