Hujan sudah reda, tak ada suara yang benar-benar ingin kita dengar.
Seperti mentari yang enggan terbit, pun seperti pelangi yang pudar.
Aku menatap waktu yang tak berdetak, dan ini benar-benar tak ada suara.
Barangkali ada rekaman-rekaman suara, dimana sahabat masa kecil memberi ucapan selamat ulang tahun.
Sebuah perhatian terindah: karena perhatian membangun ingatan dalam bilik ingatan kita.
Bilik yang tak bersuara -- seperti bilik dalam ingatanmu pula.
Hujan sudah reda, tak ada suara yang benar-benar ingin kita dengar.
Aku juga tak sanggup mendengar ihwal kesedihan.
Meski hanya suara gemerisik kertas koran yang memuat peristiwa yang diulang-ulang manusia.
Nyatanya mereka tak mendangar apapun dari mata yang mengeja aksara demi aksara.
Fajar melahirkan pagi, siang membesarkan terik, dan senja mengakhiri penantian.
Ibu bertanya "apa kamu tidak pulang liburan ini nak?" aku belum memberikan suara yang melegakan hatinya.
Sebab memang tak ada suara apapun.
Seperti suara yang lengang saat kita berpamitan melepas jabat tangan -- tentu kau masih bisa merasakan hangat jemari itu bukan?
Awan tebal tak bersuara, diam-diam menurunkan gerimis yang senyap.
Lalu kemana suara yang benar-benar ingin kita dengar?
Kita tak tahu pasti -- bahkan nurani sering kita abaikan demi menemukan suara yang sejatinya hampa.
SINGOSARI, 6 November 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H