Kutatap lekat bocah lelaki telanjang dada itu. Ia mengejar nasib diantara derasnya hujan. Kurang begitu jelas bagaimana tubuh kurus bertameng belikat itu meleburkan peluh ataukah melunturkan debu dengan curahan hujan. Kupikir sama saja. Apakah ia kedinginan ataukah terpaksa menjadi penanda kota sepertinya tak penting.
Kilatan guntur menerangi betisnya yang hitam. Melindapkan otot-otot sumir dalam jerih payah yang tak kenal musim. Langkahnya tak sederas hujan, juga tak perlu dikenang dalam ingatan yang membasahi kepala.
Saat petang meramu malam, rupa-rupa kemewahan hanya cerita dingin belaka. Orang-orang sibuk menyembunyikan iba. Menata sudut hatinya dari berbagai harta yang meluap dan menenggelamkan.
Entah sampai kapan. Lambungnya terbagi-bagi dalam bilik kosong yang kelam dan hening, sedang perut itu hanya kembang kempis menunjukkan jati diri, bahwa ia masih mampu bernafas.
Saat malam menidurkan dunia dengan ragam mimpi. Dengan kasur-kasur empuk yang dibuai kecupan manis, bocah lelaki itu hanya terjaga sendiri.Â
Justru esok pagi, saat dunia sedang terjaga, ia membelah mimpinya yang membatu. Melihat itu mentari melumuri tubuh bocah lelaki itu dengan hangat, supaya nanti sore kembali mengejar nasibnya diantara derasnya hujan.
SINGOSARI, 4 November 2020
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI