Sandyakala baru saja menitipkan gurat jingga untuk Oktober yang beranjak remaja. Disaksikan oleh sepasang cemara yang tegar menghalau bayu di perbukitan sendu. Sebentar lagi petang membuka lembaran dongeng, yang mengantarkan keceriaan kanak-kanak ke hamparan mimpi yang luas.
Di petang ini, aku masih menyimak kisah Sandyakala yang membungkus bulan. Kenangan lama dibuka kembali dari ikatan ranting cemara, tali sepatu bekas serta kaleng-kaleng minuman ringan. Saat itu fonasi kehidupan tetap melaju mengikuti lokomotif tua yang mengepulkan asap. Ia menarik gerbong-gerbong malas yang didinginkan kabut.
Sayup-sayup terdengar anak surau melafazkan namaMu diantara tiang-tiang perahu yang membenamkan Sandyakala. Jika hidup hanya terlahir dan mati, mengapa pula hendak melawan waktu? bukankah di stasiun berikutnya belum tentu ada penjual makanan seenak buatan ibumu? Ingatlah rahim, jangan memburu lalim.
SINGOSARI, 13 Oktober 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H