Bocah lelaki itu tersenyum menatap awan yang singgah di kotanya. Sebotol air sabun mulai ia genggam menyambut hujan. Sudah waktunya menyemprot kaca mobil yang kotor. Agar penumpang di dalamnya bisa melihat jelas dirinya.
Sepasang lelah dan kantuk berpagutan di kedua matanya. Mencari keteduhan atas kepedihan yang terpanggang kemarau. Sementara bocah lainnya asyik berburu iba di rimba jalanan.Â
Senja ini bocah lelaki itu menggenggam sebotol air sabun dengan busa seperti awan kelabu. Warna cemar yang melambangkan terbuang dan keruh. Ia tak bosan menyemprotkan air sabun ke kaca mobil. Ia bersihkan kenangan pahit yang menempel. Namun buru-buru pemilik mobil melambaikan tangan tak ingin kacanya disemprot air sabun. Maka, recehan pun kembali tak berkutik tenggelam di gelapnya saku.
Ah, hujan. Mengapa derasmu tak seperti tangis bocah lelaki itu. Supaya langit menyemprotkan pula air sabun di tubuhnya yang kurus itu.
Bocah lelaki itu membiarkan hujan deras menitik dari kedua sudut matanya. Dipersilahkannya kesedihan bertamu kembali di ruang gelap dimana air sabun tak mampu membersihkan duka laranya.
SINGOSARI, 22 September 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H