Lelaki itu masih melemparkan pandangan ke barat. Puluhan mimpi pun masih berserakan mengantri masuk ke kepalanya. Malam segera bersambut, sementara tubuh lelaki itu masih terjebak di keheningan petang.
Wajahnya tirus jarang makan, rambutnya serabutan. Malam lebih tahu kapan mimpi dirapikan atau diserahkan kepada nujum.
Hidup adalah aneka kejadian, dari meja malam ke pendar lampu jalanan. Menerbangkan kepul lisong ke angan yang tak terbatas. Â
Sekali lagi, hidup baginya sebuah pertemuan, dari lorong gelap menuju jalan remang. Meninggalkan sembunyi menyimpan jejak malang.
Sejak lama gulita berkarib dengannya. Sebab sulit mengartikan siang. Dimana orang menyalak tentang ideologi yang dikarang. Lalu menutupi bangkai yang menguar, dengan penawar melati diujung belati.
Sejak lama tuduhan menjadi sahabatnya. Sebab tak ada taubat yang terlihat. Dimana menikam kebaikan seringkali disangka pengorbanan. Lalu, dengan suka cita mereka obati keserakahan demi kekuasaan, serta melontarkan celoteh lucu perihal martabat.Â
Lelaki itu kecewa kepada penuntut, yang sejak kecil telah diajari untuk menurut. Malam adalah larut. Gigil adalah kabut. Keduanya menjadi sepi yang ia anut.Â
SINGOSARI, 7 September 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H