Pernahkah ibu menyelipkan do'a pada kursi tunggu? saat memeriksakan kandungan? kepada dokter yang juga terlahir dari rahim ibu yang lain?
Bu, apakah bapak juga pernah mengelus-elus perutmu yang membesar saat itu? dengan kalimat-kalimat yang menjadikan aku semakin besar?
Bapak, kemana saja saat aku susah payah mengejar nyawaku? kenapa tak kau pindah saja semua kesakitan ibu? apa karena kau hanya peduli bahwa sebentar lagi anakmu menghibur lelahmu?
Bagaimana dengan kenekatanku begadang tiap malam?
Juga dengan jerit tangisku yang membuat gaduh?
atau susu ibu yang rasanya tawar? seperti sepiring nasi tak berlauk?
Kukira beginilah diriku. Kucari-cari jati diriku ke lubang kunci pintu parlemen. Ternyata disana banyak pengganda kunci. Untuk membuka brankas. Mengunci kecaman. Serta menggandakan popularitas.
Bagi yang terlanjur partai silahkan party tiap hari. "Kami, disini tak henti-henti menyuarakan nurani" kata pengeras suara.
Aku ini sebenarnya anakmu atau bukan?
Mengapa pula aku harus berkongsi?
Membuat diriku yang tak pernah mati?
dari sekedar mencari posisi diantara koalisi atau oposisi
Minimal kumpul-kumpul mencari simpati, lalu proklamasi, pasang aksi dan bau basi
Bu, pernahkah ibu menyelipkan do'a pada kursi jabatan?
Bapak, kau mau pindah kemana? rumah kita digusur?
"Saya ini anakmu lo Pak, saya ini asli, bukan kaleng-kaleng!"
Sejak saat itu Ibu dan Bapakku bingung, kemana do'a dingin bersama kursi tunggu itu? Mereka berpikir, apakah mungkin anak itu tertukar tabiatnya, atau memang wataknya ingin berkuasa. Bagiku aku bukan diriku sebenarnya.
SINGOSARI, 1 September 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H