Ibunya sudah paham, tak akan ada pertanyaan lanjutan tentang buku apa yang dibeli, sebab begitu pertanyaan itu terlontar pasti Aini akan beralasan.
"Sudah lama saya mengincar buku ini bu, nggak semua toko buku menjualnya."
Biasanya setelah transfer uang belanja seperti itu, Aini langsung masuk kamar dan bercinta dengan bukunya. Hanya keperluan ibadah dan buang hajat saja yang menyela keakrabannya dengan buku.Â
Saat sarapan, makan siang, maupun makan malam selalu ada menu buku di samping piring. Tubuhnya tidak terlalu gemuk, sebab ia sering nyemil dibanding menghabiskan nasi sepiring.
Begitu cintanya dengan buku, Aini tak menggubris berapa sisa gaji yang ia terima. Bahkan saat mendapat bea siswa melanjutkan studi doktoral Aini seringkali kelimpungan melunasi uang kontrakan, sebab uang itu telah tergerus untuk belanja buku duluan.Â
Sampai ia menyabet gelar doktor, gajinya tak banyak berubah porsi untuk belanja. Hampir 25% ia gunakan untuk belanja buku. 25% lainnya untuk keperluan hidup sedangkan ibunya dijatah 50% dari gajinya.Â
Begitu kontrakan habis dan gelar doktor sudah tersemat, Aini boyongan pulang ke kotanya. Sekali lagi yang dibawa adalah sekardus pakaian dan berkardus-kardus buku. Buku-buku Aini menyita setengah pick up sendiri.
Jika suatu bulan tertentu uangnya menipis, maka ia punya cara lain membeli buku, yaitu mengunjungi pasar buku bekas atau loak buku. Disana ia bisa memilih buku sepuasnya. Lalu menimbangnya dan menebus beberapa buku dengan sisa uang yang ada.Â
Lumayan pikirnya, daripada beli buku baru hanya dapat satu. Aini juga sadar, membeli buku tak sekedar membacanya, tapi ia juga tak mau membeli buku bajakan. Ia sadar membeli buku bajakan sama saja menikam penulisnya sampai berdarah-darah.
Sekarang Aini sudah menginjak usia 40 tahun. Ibunya sudah seringkali menasehati untuk segera berumah tangga. Ibunya mengenalkan seorang lelaki kepada Aini. Ia anak dari sahabat ayah Aini yang baru saja pensiun dan ingin menimang cucu.
Kalau bukan alasan anak sahabat ayahnya, mungkin Aini akan menampik jodoh "pilihan" ibunya itu. Sebab semakin mengenali lelaki itu Aini yakin bahwa calon suaminya tak akan mengganggu kegiatannya sekaligus kesenangannnya dengan buku.Â
Nama lelaki itu Hendrawan, ia seorang pemilik penerbitan buku di pinggiran kota. Aini banyak mendengar berbagai cerita penerbitan buku dari Hendrawan. Baik Aini maupun Hendrawan keduanya hidup tergantung dengan buku. Sepertinya saling melengkapi.