Kembali lagi aku mengunjungi pujasera itu. Entah mengapa aku lebih suka duduk di dekat tangga. Mungkin karena tersedia meja kecil dengan kursi untuk dua orang serta dekat dengan colokan listrik. Alasan lainnya, di dekat tangga itu pulalah terpasang akses poin alat untuk memancarkan sinyal wi-fi internet.
Bagiku pujasera ini melebihi konsep cafe sebagai tempat nongkrong berjam-jam. Bahkan pernah suatu waktu aku betah hingga tiga jam lamanya, habis dua gelas kopi dan sepiring nasi goreng. Tempatnya luas, parkirnya aman dan tentu mendukung kegiatanku, yaitu menulis.
Seperti Sabtu pagi ini, rasanya sangat sayang jika hanya melewatkan diatas kasur, menarik selimut dan mengganti setting ponsel agar tidak berbunyi untuk kemudian melanjutkan mimpi. Sebab, besok sudah hari Minggu, waktunya koran di kotaku memuat karya cerpen maupun puisi. Sebuah rutinitas yang tak pernah kulewatkan begitu saja sejak aku menyukai dunia menulis.
Kali ini beberapa tokoh sudah kulahirkan dalam coretan buku kecilku. Sebutlah ada Wiwid, Hadi, dan Wawan. Ketiganya nama lawas yang pasaran digunakan untuk sebuah cerpen. Apalagi kisahnya juga tak jauh-jauh dari cinta segitiga, sebuah roman yang tak pernah habis digali oleh penulis.
"Selamat pagi mas, mau pesan apa?" tanya pelayan pujasera.
"Sepiring nasi goreng pakai telur mata sapi, secangkir kopi cappucino pakai latte ya" sahutku.
Kubuka laptop bututku, mulailah jemariku menari diatas papan ketik. Mulai dengan membangun alur cerita, memasukkan tokoh yang terlibat, serta membuat ending yang mengejutkan.
Aku bisa saja membuat tokoh Hadi tergila-gila pada Wiwid. Rela melakukan apa saja asalkan Wiwid takluk. Namun jangan salah, ada Wawan juga yang tak kalah sengitnya merebut hati Wiwid. Ah, seandainya aku jadi Wiwid betapa senangnya dicintai oleh dua lelaki. Tinggal pilih yang terbaik. Oh ya? kalau misalkan keduanya sama-sama bukan yang terbaik lantas gimana? Aku senyum-senyum sendiri.Â
Seperti itulah aku sering membayangkan kisah yang kukarang sendiri. Sesuka hatiku pula aku membuat tokoh-tokoh itu terluka atau bahagia. Menulis cerpen memang begitu, menuruti kehendak hati.
"Silahkan mas, ini cappucino-nya, ini nasi gorengnya. Jika perlu lainnya silahkan lambaikan tangan ke kami" soerang pelayan menyuguhkan pesananku.
"Hemm, nikmatnya" aku tak sabar segera menyantapnya seperti melahap seluruh alur cerita.
Lumayan, satu jam berlalu. Jemariku mulai cenat-cenut, leherku kaku dan mataku berair. "Istirahat dulu ah, capek" gumamku. Kuseka wajahku dari peluh yang mulai menonjol. Kulempar pandanganku pada seisi pujasera. Lumayan rame. Ada yang sendirian seperti aku, ada pula bersama sekeluarga, serta beberapa pasang kekasih.
Kulihat arloji, masih jam sebelas siang. Entah mengapa tiba-tiba aku teringat Anik, perempuan yang sedang kuincar menjadi pacar. Biasanya ia datang kesini saat makan siang. Kantornya selemparan batu dengan pujasera ini.