Sebuah rumah besar yang menurutku cocok untuk keluarga besar pula. Sayang, hingga kini Yuni masih mengaku belum bisa menerima lelaki dalam hidupnya. Bahkan saat SMA dulu Yunilah yang mengakhiri pacaran. Aku diputus dengan dalih tak mau diganggu saat kuliah. Waktu itu spontan pikiranku kalut. Beberapa tahun tak bisa menghapus nama Yuni. Memang aku sangat ugal-ugalan saat itu. Menurutku itu hal wajar, dimana seorang lelaki biasanya belum sedewasa perempuan.
"Ah konyolnya aku, mengapa dulu aku tak begitu serius ya?" tanyaku dalam hati. Bahkan aku tak melanjutkan kuliah. Orang tuaku sempat marah melihat kondisiku yang drop karena diputus Yuni. Bagiku Yuni adalah bagian dari cita-cita. Kendati demikian aku tak sakit hati. Aku tak patah hati. Sebab aku yakin Yuni akan tetap bahagia dengan cintanya. Sampai beberapa tahun kemudian aku telah melupakan itu semua. Aku menikah dengan perempuan lain dan dikaruniai seorang anak.
---------- ********** ----------
"Sudah kusiapkan kopi pahit di meja makan, sepotong roti bakar kesukaanmu" sebuah pesan pada secarik kertas dekat jam weker. Mataku yang masih terasa berat langsung membelalak. Bukan karena jam weker yang entah siapa menyetelnya sehingga aku terbangun. Tapi, gara-gara secarik kertas itu, aku seperti diperhatikan. Istriku saja tak pernah memperhatikanku seperti ini.
Kuambil kopi pahit buatan Yuni dan sepotong roti bakar, lalu kubawa naik ke kamar. Kubuka jendela dan kulihat pemandangan diluar yang mengesankan. Sebuah gunung dengan pepohonan pinus yang masih nampak lebat. Aku seperti tersihir oleh situasi dalam kamar ini. Wajah anak dan istriku tak membekas sama sekali.
Maka kusebar pandanganku ke segala sudut kamar. Ada sebuah almari model kuno yang teronggok di sudut kamar. Iseng kudekati dan mencoba membukanya. Kulihat tumpukan album foto, kuberanikan diri meraih sebuah album foto. Kubuka lembaran album foto itu. Ternyata album foto Yuni. Ada fotonya saat SMA, tubuhnya masih kerempeng. Terpampang pula foto-foto saat ia kuliah di depan kampus, serta beberapa foto yang menurutku aneh. "Ya, ini aneh" gumamku.
Dalam foto yang menurutku aneh itu nampak Yuni bersama dengan lelaki yang wajahnya di lubangi. Aku tak begitu jelas menerka siapa lelaki itu. Beberapa foto lainnya nampak pula foto wajah lelaki itu seperti bekas disundut api, entah dari rokok atau apa aku sendiri tak tahu. Ada bekas terbakar di sekitar lubang yang berada tepat di wajah lelaki itu. Yang mengejutkan, di halaman akhir ada fotoku dengan Yuni saat merayakan kelulusan SMA. Aku memang nampak ugal-ugalan saat itu. Rambut acak-acakan dan berkacamata hitam. "Ah, aku memang konyol" gumamku sendirian.
"Hai, sudah bangun rupanya. Gimana nyenyak nggak tidurnya semalam. Nah benar kan pemandangannya indah?" tiba-tiba Yuni membuka pintu kamar seraya nyerocos saja. Aku tak sempat menutup album foto dan Yuni menyadari hal itu.
"Kau sudah lihat album fotoku pula? Hahahah, nggak usah kikuk, biasa saja" selorohnya sembari menuju ke pinggir bed dimana aku duduk dan masih memegang album foto. Yuni segera duduk berdampingan denganku.
"Yun, boleh aku tanya?" tanyaku dengan bibir bergetar.
"Ssst...santai aja, nggak usah tegang gitu, tanyalah, apa saja" balasnya.
"Lelaki yang wajahnya kau lubangi ini siapa?" tanyaku seraya menunjuk sebuah foto.
"Oh itu, Firman, mantanku saat kuliah dulu, kenapa? kau kenal? atau....., kau cemburu ya?" tukas Yuni memandangiku sambil tersenyum kecut.
"Iiihh..., siapa yang cemburu. Kenapa kau lubangi wajahnya? bukankah kau bisa membuang saja foto itu?" elakku seraya sok-sok an memberi saran.
"Tuh kan, kau cemburu kan? Kalau dibuang ada fotoku sayang" Yuni seperti keceplosan.
"Sayang?" dahiku mengernyit heran, meski begitu telingaku senang mendengar panggilan itu.
Yuni mengatupkan kedua telapak tangan dan menutupi bibirnya. Ia seperti kikuk. Sementara aku sendiri masih bertanya satu hal tentang fotoku di halaman terakhir album foto.
"Mengapa wajahku tak kau lubangi?" tanyaku dengan sekuat hati.
"Entahlah, aku seperti bersalah memutusmu, dan hingga kini kuanggap kau lelaki yang tetap tegar, maafkan aku ya?" pungkas Yuni lirih. Tangannya meraih tanganku, kurasakan kehangatan yang tak bisa kulukiskan dengan apapun. Yuni memelas mohon maaf kepadaku atas keputusannya di masa silam. Dadaku berdesir.