Suatu senja di sebuah pujasera yang tak begitu ramai, ditemani kopi pahit dan sepotong roti bakar, kutuntaskan membaca sebuah buku puisi karya seorang penyair kenamaan. Aku percaya membaca buku dapat mengusir kebosanan. Apalagi yang kutunggu kali ini adalah "mantan" kekasih semasa SMA.
"Sorry telat, sudah lama disini?" suara Yuni begitu lembut, apalagi ia sambil menyibakkan rambutnya.
"Baru juga kok, santai aja" sambil kutunjukkan kopi pahit yang masih utuh dan mengepulkan asap.
Yuni nampak anggun, rambutnya sebahu, dengan leher jenjang dan berwajah tirus. Kemeja putih polos yang tidak begitu ketat dengan celana jeans kesukaannya menambah penampilannya lebih dewasa, elegan dan penuh percaya diri. Kuamati sepintas bahasa tubuhnya belum rileks. Berulangkali ia melempar pandangan ke berbagai arah, seperti berharap tak ada yang melihat pertemuan ini.Â
"Wah buku apa nih?" serun Yuni membuka obrolan.
"Oh ini, buku puisi, kau suka puisi?" jawabku sedikit tergopoh-gopoh. Yuni menggeleng kepala, ia hanya menatap buku yang ada di hadapanku. Sepertinya ia masih mengumpulkan kata-kata untuk membuka pembicaraan selanjutnya.Â
Akhirnya tak kuasa juga, diraihlah buku di hapadanku. Sembari membuka-buka lembaran buku ia mulai menata pembicaraan. Mulai basa-basi ringan hingga cerita kuliner, kisah saat SMA dan kota-kota yang kusinggahi selama ini. Tak terasa senja berlalu menyambut petang.
"Oh ya, sejak kapan kau menyukai puisi? Seingatku dulu kau begitu ugal-ugalan, nggak cocok kalau menyukai puisi" selidik Yuni seraya mengembalikan buku itu kembali ke hadapanku.
"Memangnya puisi selalu identik dengan orang pendiam?" balasku seraya memandangi matanya yang sayu.
"Setahuku sih begitu...., mungkin kau lagi patah hati ya?" tanyanya melesat dan menghunus dadaku. Aku sedikit terkejut dan pelan-pelan menghela nafas.
Kedatanganku di kota Yuni ini bukan kemauanku. Sejak tiga tahun ini bisnisku lumayan merangkak naik dan mengharuskan bolak-balik dari berbagai kota untuk singgah sebentar urusan bisnis. Kali ini, aku singgah di sebuah kota dimana Yuni tinggal. Sebuah kota yang membawa perjumpaanku dengan Yuni setelah lulus SMA. Dua tahun yang lalu saat reuni SMA kami sempat bertukar nomor ponsel dan baru kali ini bertemu kembali. Berdua saja. "Ini masalah perasaan" demikian bisik hatiku.
"Aku tak pernah patah hati" sahutku, kulihat Yuni hanya diam. Matanya memandang jauh keluar. Sesekali nafasnya tak teratur. Aku tak tahu apakah ia memendam kecewa ataukah sebaliknya.
"Maafkan aku jika menyinggung perasaanmu" pintaku. Yuni tetap saja terdiam dan menundukkan wajahnya seperti menahan sesuatu.
"Kau masih lama di kota ini? jika mau menginaplah di rumahku saja" tiba-tiba Yuni mengangkat wajahnya dan memberi penawaran yang tak kuduga.
"Aku? menginap di rumahmu?" aku gelagapan mendengar tawaran Yuni.
"Ish...ish..., di rumahku ada keponakan juga, ayo berangkat" ajak Yuni.
Aku hanya khawatir bagaimana jadinya tidur di rumah seorang perempuan yang belum menikah. Untunglah bayangan itu segera buyar saat Yuni mengenalkan satu persatu keponakannya yang ternyata tiga orang laki-laki.Â
"Ini Yudi, ini Soni, dan ini paling kecil si Arman" Yuni mengenalkan satu persatu keponakannya.
"Hai semua, sorry mau nginap disini, boleh ya?" aku mencoba permisi kepada mereka.
"Tidurlah di kamar Soni, di lantai dua, besok pagi kau akan lihat pemandangan yang bagus, percayalah" saran Yuni usai mengenalkan ketiga keponakannya.Â