Pancaroba baru saja tiba. "Kau darimana saja?" tanyaku siang ini.
Ia hanya tersenyum kering. "Lha kau sendiri darimana?" ia malah bertanya balik kepadaku.
"Aku baru saja keluar dari rerimbun keringat" seraya kuseka peluh di kening, pipi dan leher.
"Di tubuhmu, keringat dan hangat sedang bercinta" puji Pancaroba.
"Duduklah dulu, negeri ini sedang dirgahayu" balasku menawarkan sejengkal kemarau
Siang ini Pancaroba menunggu pengumuman, kapan lomba balap karung akan digelar. Katanya terik telah merindukan kulit legam bocah-bocah pemain bola yang seusai letih lalu memandikan bahagianya di kali.
Tak hanya itu, mentari sebagai rahim semangat menggelora pun terus berjuang, bersama para relawan yang hidupnya disandarkan pada vaksin. "Demi vaksin merah putih, kuserahkan harapan pada Tuhan."
Pancaroba bangkit dari duduknya, ia menyusuri ruas jalan yang berkibar bendera merah putih. Permainan anak mengintip dari balik tirai. Sampai senja tiba kulihat jasad-jasad terik bergelimpang diatas rerumputan. Mereka terhunus sepi di hari merdeka, sampai rembulan menggelar do'a bersama saat malam mulai mengubur kemeriahan Agustus.
"Pancaroba, bawalah pergi corona" ucap bocah bertelanjang dada mengangkat bendera merah putih. Puisi meneteskan airmata, "Semoga Tuhan meridhoi negeri ini, jayalah Indonesia."
MALANG, 15 Agustus 2020